Pages

Wednesday, December 26, 2018

Bahasa Arab, Indonesia, dan Kejayaan Intelektual

Bahasa Arab bukan hanya milik masyarakat dan negara Arab

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul, wartawan Republika

Hari Bahasa Arab Sedunia yang jatuh pada 18 Desember sepi pemberitaan di Indonesia. Terlihat hanya belasan media arus utama yang menginformasikan hari besar yang ditetapkan PBB tersebut. Oleh sebagian komunitas pegiat bahasa Arab, hari besar itu dimeriahkan dengan pawai, seperti di Makassar.

Pencarian menggunakan Google.co.id dengan kata kunci 'hari bahasa arab sedunia', kategori ‘semua’ pada Kamis (20/12), hanya menghasilkan 818 ribu konten. Sementara, pencarian dalam kategori ‘berita’ jauh lebih sedikit. Hanya 12 ribu konten. Dari jumlah itu, hanya belasan sampai puluhan konten yang berkaitan dengan kata kunci dan diberitakan pada Desember.

Bahasa asli Timur Tengah ini masuk ke Nusantara bersamaan dengan dakwah Islam antara abad ketujuh sampai dengan abad kedelapan Masehi. Ketika itu masyarakat Arab yang berkunjung ke nusantara berasal dari Haramayn (Makkah dan Madinah), Persia, dan anak benua India (Azyumardi Azra: 2004). Pengaruh Persia terlihat lebih dominan. Buktinya adalah penye­butan kata berakhiran ta’ marbuthah menjadi ‘t’, bu­kan ‘h’ yang biasa dilafazkan orang Arab. (Republika, 25 November).

Orang Indonesia lebih akrab dengan kata-ka­ta shalat dan zakat, yang oleh masyarakat arab dilafazkan shalah dan zakah. Azan oleh sebagian orang Sumatra dibahasakan dengan bang. Kata tersebut adalah murni bahasa Persia.

Karya ulama Indonesia berbahasa Arab ter­sebar di berbagai belahan dunia. Contohnya adalah Asrarul Arifin Karya Hamzah Fanshuri (wafat 1590), kitab-kitab karangan Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), tulisan Syekh Mahfuz Termas (1868-1920), dan banyak lagi.

Mereka adalah ulama yang tinggal di daerah kosmopolitan, seperti Banda Aceh (Samudera Pasai), dan Haramayn (Makkah dan Madinah). Aceh merupakan daerah perdagangan. Masyarakat dari berbagai wilayah Timur Tengah berkumpul di sana untuk membeli hasil bumi Nusantara.

Sementara, Tanah Suci sejak zaman Nabi Ibrahim ribuan tahun sebelum Masehi sudah menjadi titik kumpul manusia dari berbagai belahan dunia. Selain berdagang, di sana mereka melaksanakan ibadah haji, menapaki jejak para nabi yang mendakwahkan keesaan Allah. Karena itu buku-buku karangan ulama kita yang berbahasa Arab dibaca masyarakat dunia. Gagasan mereka tersebar melampaui batas-batas Nusantara dan menginspirasi jutaan orang.

Namun, masa penjajahan Belanda telah mengubah kul­tur Muslim Nusantara yang semula berbaha­sa Arab menjadi Latin. Sejak itulah tradisi keilmuan Islam terpojokkan. Pesantren menjadi benteng yang mempertahankan kajian kitab-kitab berbahasa Arab. Kelak di kemudian hari kajian tadi dikembangkan lembaga pendidikan yang didirikan Ormas Islam, seperti Jami’at Khair, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, al-Washliyah, al-Ittihadiyah, dan lainnya.

Bahasa Alquran mempunyai 12,3 juta kosakata, lebih banyak dua kali lipat dibandingkan bahasa Inggris. Penggunaan bahasa ini meluas seiring dengan membesarnya pengaruh Islam pada abad ketujuh masehi.

Tak kurang dari 26 negara menggunakan bahasa Arab. Sebanyak 18 di antaranya memanfaatkan Arab sebagai bahasa ibu. Sekitar 1,8 miliar Muslim di dunia menggunakan bahasa Arab. Setidaknya mereka melafalkan kosakata Arab ketika shalat dan berzikir.

Ini berarti bahasa tersebut bukan hanya milik masyarakat dan negara Arab. Dunia mengakuinya setelah bahasa Mandarin, Inggris, India, dan Spanyol.

Negara Arab dan Indonesia

Arab Saudi, yang ditempati 34 juta penduduk, berupaya memperbarui pembelajaran bahasa Arab. Negara kerajaan ini menginginkan penggunaan bahasa ibu itu semakin meluas. Program Pangeran Sultan untuk bahasa Arab bersama UNESCO sudah diluncurkan pada 2007. Dana sebesar 3 juta dolar AS digelontorkan untuk realisasi program. Pada tahun ini, Yayasan Sultan bin Abdul Aziz merayakan Hari Bahasa Arab Sedunia di markas UNESCO, Paris.

Uni Emirat Arab melalui Yayasan Syekh Mohammed bin Rashid al-Maktoum juga berinisiatif mempertahankan dan mempromosikan bahasa Alquran. Syekh Mohammad yang menjabat wakil presiden dan perdana menteri UEA meminta proyeksi bahasa Arab pa­da masa depan.

Laporan itu akan menjadi acuan dan riset untuk memetakan tantangan bahasa Arab secara ilmiah untuk mengembangkannya dalam bidang metode penggunaan, pendidikan, penguatan komunikasi, dan pendalaman pengetahuan. Laporan itu diharapkan rampung pada 2019. Banyak peneliti dan ahli UEA terlibat di dalamnya. Melalui akun Twitter, Mohammed bin Rashid menyatakan UEA merayakan Hari Bahasa Arab Sedunia dengan riset dan studi yang didukung kebijakan pemerintah.

Bagaimana dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim dan menggunakan bahasa Arab? Memang tak banyak yang merayakan Hari Bahasa Arab Sedunia. Namun, mereka tetap bersemangat mempelajari bahasa Arab. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya sekolah Islam dan pesantren yang menjadi tempat pembelajaran bahasa tersebut.

Jauh sebelum Arab Saudi berupaya memperbarui metode pembelajaran bahasa Arab, intelektual Indonesia Mahmud Yunus (1899-1982) sudah lebih dulu menawarkan metode langsung pembelajaran bahasa Alquran. Saat guru lebih aktif dan dominan berbahasa Arab, sedangkan murid cenderung pasif, Yunus menawarkan metode berbeda. Dia mengarahkan siswanya untuk lebih aktif berbicara dan menulis Arab, sehingga mereka lebih cepat menguasai bahasa tersebut.

Metode ini diterapkan Pondok Modern Darussalam Gontor. Salah seorang pendirinya KH Imam Zarkasyi (1910-1985) bersama Imam Syubani menyusun buku pelajaran bahasa Arab (Durusul lughah al-Arabiyah) menggunakan metode langsung (direct method). Kitab tadi menjadi rujukan pembelajaran bahasa Arab ribuan pondok pesantren.

Dari lembaga pendidikan itu semua lahirlah jutaan generasi Muslim yang menguasai bahasa Alquran. Mereka tak alergi membaca naskah dan memahami pidato berbahasa Arab. Kemampuan itu membuat mereka memanfaatkan informasi Timur Tengah untuk kepentingan pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan.

Direktur Bashaer Asia Publishing Ilham Jaya Abdurrauf sering mendampingi ulama Arab yang mengunjungi Indonesia. Kepada saya dia bercerita, kini semakin banyak komunitas yang pandai berbahasa Arab sehingga Ilham tak repot menjadi penerjemah.

Ini adalah tanda, di Indonesia: negeri dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, bahasa Arab akan kembali berjaya seperti dulu ketika belum dijajah Eropa. Insya Allah.

Let's block ads! (Why?)



December 26, 2018 at 03:44PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2TcA9Vp
via IFTTT

No comments:

Post a Comment