REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Khotbah merupakan salah satu media penting dalam dakwah Islam. Sayangnya, tak semua khatib, ustaz, atau dai mampu berkhotbah dengan baik. Para khatib shalat Jumat, misalnya, sering kali berkhotbah dengan materi yang membosankan, cenderung berputar-putar, alias itu-itu saja.
Akibatnya, materi khotbah hanya ‘masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri’. Selain materi yang kurang me ngena, khatib sering kali juga tampil dengan gaya bicara yang tidak menarik. Alhasil, jangankan menyimak, para jamaah lebih banyak yang mengantuk bahkan tertidur.
Para khatib yang demikian tampaknya perlu belajar lebih banyak lagi mengenai adab atau etika ber khotbah yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dalam buku Rasulullah, Manusia tanpa Cela diterangkan, saat berkhotbah Beliau berusaha agar pengarahan, wejangan, dan nasihat-nasihatnya bukan saja didengar oleh telinga, tetapi langsung menembus lubuk hati.
Beliau mengucapkan kalimat demi kalimat secara jelas, dengan susunan bahasa yang indah dan arti yang terang. Sering pula Rasulullah memakai tamsil ibarat dan perumpamaan-perumpamaan yang menarik. Meski mengguna kan kata- kata yang indah, Beliau tidak bersajak tapi bicara sewajarnya.
Sebelum dibuatkan mimbar di masjid, Beliau selalu berkhotbah sambil berdiri di tempat yang tinggi. Rasulullah tak segan mengulangi kalimat hingga tiga kali sebagai isyarat bahwa apa yang diulang itu memerlukan perhatian serius. Agar tak membosankan, Rasulullah juga tidak pernah menyampaikan khotbah yang terlalu panjang.
Ath-Thabrani RA meriwayatkan dari Abu Umamah, ia berkata: “Apabila Rasulullah mengutus seorang Amir, Beliau berpesan: ‘Pendekkanlah khot bah(mu) dan sedikitlah berbicara. Sesungguhnya datangnya sihir itu akibat dari pembicaraan’.” (Al- Jami’u ash-Shaghir, hal 244).
Setiap kali berkhotbah, Rasulullah tidak pernah lupa untuk mengucapkan puja dan puji ke pada Allah SWT. Begitu pula dua kalimat syahadat yang senantiasa menjadi kata pengantar dalam setiap khotbahnya.
Terkadang, di tengah berkhotbah Rasulullah menyempatkan untuk menyapa seseorang. Misal nya, ada seseorang yang baru me masuki masjid kala Beliau ber khotbah Jumat. Biasanya, Beliau berhenti sejenak lalu bertanya: “Sudahkah engkau shalat dua rakaat (tahiyyatul masjid)?” Jika jamaah itu menjawab belum, Ra sulullah akan memintanya shalat dua rakaat setelah itu meneruskan khotbahnya.
Dalam berkhotbah, Rasulullah juga memperhatikan situasi dan kondisi saat itu. Dalam hal ini, Beliau memerintahkan suatu amal an jika telah ada yang meng abaikannya, atau menyeru untuk mencegah suatu perbuatan mung kar jika sudah ada tanda-tanda atau diketahui bahwa ada sementara orang yang mendekati atau sudah melakukannya.
Tak jarang, saat sedang ber khotbah tiba-tiba seorang jamaah meminta Beliau berdoa. Rasulullah sama sekali tidak marah khotbahnya dipotong di tengah jalan, bahkan Beliau mengabulkan usulan tersebut. Hal ini sebagai mana keterangan hadis yang diriwayatkan oleh Anas RA.
Ia berkata: “Ketika Rasulullah sedang khotbah Jumat, tiba-tiba seseorang berdiri, seraya berkata: ‘Ya Rasulullah, (banyak) kuda dan domba telah mati, maka berdoalah kepada Allah agar Ia menurunkan hujan kepada kita.’ Rasulullah SAW pun menengadahkan kedua tangannya lalu berdoa.” (Shahih Bukhari, hal: I/66).
Demikianlah cara Rasulullah berkhotbah. Ada kalanya Beliau berkhotbah dengan sikap yang tegas dan suara yang tinggi, namun pada kesempatan lain menampilkan suara yang lemah lembut. Sangat fleksibel. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
December 18, 2018 at 06:00PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2S7hWIR
via IFTTT
No comments:
Post a Comment