Pages

Tuesday, December 25, 2018

Kisah Kemenangan Para Penyintas

Baznas menerbitkan buku “Menang usai Diterjang Gelombang”.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Pagi itu gempa menggetarkan penjuru bumi Aceh Darussalam yang disusul kemudian dengan tsunami. Saya sedang bermain-main bersama kedua saudara saya (kakak berumur 11 tahun, sedangkan adik berumur 6 tahun). Tidak pernah terpikirkan bahwa permainan itu bakal menjadi pertemuan kami terakhir kali.”

Buat negeri yang kerap dilanda bencana alam seperti Indonesia, kisah-kisah seperti di atas, naasnya, bukan kisah yang langka. Media-media kerap meliput secara ekstensif perihal pengalaman para korban maupun penyintas saat bencana terjadi maupun beberapa saat setelahnya.

Yang jarang didengarkan, bagaimana para penyintas melanjutkan kehidupan mereka selepas sorotan kamera beralih ke lokasi lain. Bagaimana mereka perlahan menata hidup setelah aliran belasungkawa mengering.

Petikan di atas adalah kisah yang dituturkan Mahfuzhah, seorang alumni Teknologi Informatika Politeknik Aceh. Warga Blang Monlung, Aceh Jaya itu bertutur soal pagi hari pada 26 Desember 2004, saat bencana gempa bumi dan tsunami saat ia kehilangan ibunda dan saudara-saudaranya. Mereka menyusul sang ayah yang berpulang lebih dulu, meninggalkan Mahfuzhah sendirian. 

Tapi kisahnya tak berakhir di situ, dengan bantuan beasiswa Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Mahfuzhah bangkit belajar, meraih nilai-nilai baik di tengah keterbatasan, dan akhirnya lulus dengab predikat cum laude dari Politeknik Aceh. Ia kemudian meraih pekerjaan stabil dan berumahtangga.

Kisah yang dituturkan Mahfuzhah tersebut hanya satu dari sekian yang dirangkum dalam buku Menang usai Diterjang Gelombang yang diterbitkan Baznas dan akan diluncurkan seturut peringatan 14 tahun bencana gempa-tsunami Aceh pada Rabu (26/12) ini.

Selain Mahfuzhah,  ada juga Juliansyah, seorang warga Simeuleu. Saat bencana darang, ia masih duduk di sekolah dasar. Perjuangannya sebagai penyintas menghantarkannya menyelesaikan kuliah jurusan elektronika di Politeknik Aceh, dan kemudian bekerja pada perusahaan Jerman di Batam, Kepulauan Riau.

Nasib yang ia alami di Aceh agaknya menghaluskan hati Juliansyah. “Selama di Batam, saya dan teman-teman sering mengadakan kegiatan sosial. Saya memang tergabung dalam beberapa organisasi sosial seperti Bagi Nasi Pagi Batam. Sesekali kami juga ke pulau-pulau terluar kota Batam untuk sekadar memberikan dorongan semangat belajar kepada para pelajar yang tinggal di pulau-pulau hinterland atau daerah-belakang penyangga kota,” tulis dia dalam buku tersebut.

Di dalam buku tersebut, 20-an penyintas menuturkan kisah mereka. Sebagian besar perempuan dan sebagian mulai meniti hidup di Asrama Baznas yang didirikan untuk menampung dan mendidik para penyintas. 

Para penyintas merupakan bagian dari 400 anak yang dibimbing Baznas dalam program Selamatkan Tunas Bangsa. Diberi pendidikan asrama hingga 150 di antaranya berhasil mencapai pendidikan tinggi. Ada yang menjadi dosen, insinyur, akuntan, hingga sarjana ilmu-ilmu keislaman.

Pada masa-masa seperti sekarang, saat bencana datang silih berganti menerpa Tanah air, buku ini tak kalah pentingnya. Dalam banyak kisah, ada inspirasi bahwa pertolongan pada saat bencana tak bisa hanya sesaat. Dengan bekal yang sederhana, para penyintas punya tekad luar biasa untuk bangkit dan akhirnya jadi anggota masyarakat yang unggul dan bermanfaat.  

Let's block ads! (Why?)



December 25, 2018 at 04:24PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2EPByhw
via IFTTT

No comments:

Post a Comment