REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) menyatakan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk alal (UU JPH) sulit diimplementasikan pada 2019 mendatang.
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan, salah satu penyebabnya, dalam ketentuan Pasal 4 UU tersebut pemerintah negara wajib membiayai UKM yang ingin melakukan sertifikasi halal.
Lukmanul menilai pemerintah akan sulit menghasilkan dana sekian triliun rupiah untuk membiayai 3,6 juta UKM (berdasarkan data Badan Pusat Statistik).
“Kalau baca UU sekarang, implemtasi UU 33 hampir sulit dilakukan, kita realitis. Saya sampaikan perhitungan data,” ujarnya saat acara ‘Bedah Buku Mere(i)butkan Sertifikasi Halal’ di Hotel Grand Alia Cikini, Selasa (11/12).
Hitungan tersebut, kata Lukman, merujuk pada biaya sertifikasi halal setiap UKM mencapai 1,5 juta (berdasarkan data Bappenas). Apabila negara tidak mampu membiayai sertifikasi halal bagi UMKM, onsekuensinya UMKM tidak boleh masuk ke perdagangan dalam pasar Indonesia.
“Hati-hati dengan UU ini, membaca dengan detail. Jangan sampai UU ini menjadi alat bunuh massal bagi UMKM,” ucapnya.
Menurut dia, MUI telah mengawal UU sejak 2014. Ketika itu tercetus keputusan politik DPR, yang merupakan inisiatif pemerintah dan DPR. Dalam pembahasan UU ini terjadi dinamika perdebatan.
Saat itu, ada beberapa pihak yang sempat ingin mendiskriminatif UU untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, MUI dituduhkan merebut UU tersebut oleh pihak yang tidak menyetujui UU ini terbentuk.
“MUI ikut mengawal UU ini sampai akhir, MUI menjadi peserta aktif artinya tidak merasa yang bermaksud meributkan UU ini,” ucapnya.
Untuk itu, kata Lukmanul, pihaknya tidak ingin tergesa dalam mengimplemetasikan UU ini. Mengingat pelaksanaan UU JPH ini membutuhkan kematangan secara mendetail, meski implemtasinya akan jatuh pada Oktober 2019 mendatang.
Dia menambahkan, implementasi 2019 harus butuh 25 ribu auditor yang tersertifikasi MUI. MUI tidak menghendaki ujung-ujungnya dituntut seolah ada pemaksaan MUI untuk mandatory sertifikasi halal.
“Jangan sampai MUI dijadikan kambing hitam. Siapa yang ngotot sertifikasi mandatory halal? Ini yang kami hindari (pertanyaan dari berbagai pihak),” kata dia.
Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah mengatakan, UU ini telah memasuki usia ke lima setelah di undangkan. Lalu, tidak banyak yang dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang dibentuk pada 10 Oktober 2017 tahun lalu.
Dia menyebut BPJPH sampai dengan hari ini belum dapat melakukan kerjasama dengan MUI sehingga tidak mampu melahirkan satu auditor halal pun selama satu tahun.
“Demikian pula Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang diharapkan sudah mulai dibentuk, juga belum ada satupun yang lahir pasca UU JPH diundangankan,” kata dia.
Menurut dia, kondisi ini mengakibatkan persiapan pelaksanaan UU JPH dalam rangka mandatory sertifikasi halal yang akan jatuh pada Oktober 2019 tidak mungkin dapat dilaksanakan melalui BPJPH. Ini yang menyebabkan tidak berfungsinya BPJPH sebagaimana yang diharapkan Pemerintah.
Ikhsan meminta kepada Pemerintah, dalam hal ini Presiden RI menjalankan Pasal 59 dan 60 UU JPH dengan memperkuat LPPOM MUI melalui Peraturan Presiden demi keberlangsungan mandatory sertifikasi halal sebagaimana amanat undang-undang, dan menjamin kepastian iklim usaha dan hubungan perdagangan internasional.
December 11, 2018 at 06:37PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2EeAQtl
via IFTTT
No comments:
Post a Comment