IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Keharusan untuk melakukan rekam biometrik bagi jamaah umrah mengakibatkan penurunan jumlah jamaah hingga 20-25 persen pada tahun ini. Ketua Permusyawaratan Antarsyarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI) Artha Hanif menyebutkan, persyaratan ini menambah repot calon jamaah umrah yang ingin berangkat ke Tanah Suci.
"Pada awal tahun lalu, jumlah jamaah umrah sudah melebihi 700 ribu. Sekarang malah baru sekitar 600 ribu. Ini salah satu faktor penurunannya, efek biometrik menambah ribet mereka yang mau berangkat," jelas Artha kepada Republika.co.id, Selasa (5/2).
Dia mencontohkan beberapa hal yang menyebabkan rekam biometrik menjadi faktor yang menyulitkan calon jemaah. Pertama, bagi calon jamaah di kota, kesibukan dalam bekerja membuat mereka sulit untuk secara fisik hadir di cabang VFS Tasheel terdekat untuk melakukan rekam biometrik.
Kedua, untuk calon jamaah yang berasal dari daerah timur, contohnya Papua, cabang VFS Tasheel terdekat berada di Makassar. Sehingga, menambah beban biaya ongkos perjalanan.
"Padahal 60-70 persen berasal dari kelas ekonomi ke bawah, mereka harus mengumpulkan dana besar untuk bisa umrah, tapi sekedar rekam biometrik untuk dapat visa harus pontang panting, tambah banyak biaya. Itu tidak fair," tegasnya.
Dia mempertanyakan manfaat rekam biometrik tersebut, karena setelah sampai di Arab Saudi, para jamaah pun harus kembali melakukan rekam biometrik. Apabila rekam biometrik dimaksudkan untuk memperoleh data biometrik, maka seharusnya pihak Pemerintah Arab Saudi bisa bekerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri untuk memperolehnya. Rekam biometrik penduduk sebelumnya sudah dilakukan untuk memperoleh KTP dan paspor.
"Itu kalau poinnya adalah data, kalau itu poinnya kan selesai, bisa kerja sama dengan Kemendagri. Tapi poinnya sepertinya karena bisnisnya," katanya.
Selain itu ia mempertanyakan apakah VFS ini pihak yang secara sah atau legal untuk merekam data pendudukan. Karena seharusnya berhubungan dengan Kementerian terkait, apalagi terkait penyelengaraan umroh dan haji, yang memiliki dinaungi beberapa peraturan perundang-undangan.
"Minimal ada empat ketentuan untuk penyelenggaran umroh dan haji. Mereka harus melakukan koordinasi ini. Heran mereka bisa melakukan ini tanpa koordinasi dengan pemerintah," ujar Artha.
Dia juga menganggap aneh karena keharusan rekam biometrik ini hanya diwajibkan Arab Saudi kepada beberapa negara, termasuk Indonesia. Sementara negara tetangga seperti Malaysia tidak terkena peraturan ini.
Lebih lanjut Artha juga mengkritik upaya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dianggap lambat dalam menyelesaikan permasalahan ini. Karena sampai sekarang BKPM belum dapat menyelesaikan persoalan ini.
Berita Terkait
"BKPM kan sudah sepakat mengundang asosiasi dan VFS agar mendapatkan gambaran itu bisa dilakukan di Indonesia tanpa menyulitkan. Misalnya beberapa jam sebelum terbang ke Saudi, kan tidak akan menyulitkan jamaah," sarannya.
February 05, 2019 at 11:02PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Bn57nA
via IFTTT
No comments:
Post a Comment