REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ingar bingar, terasa jauh dari Gorekan Lor, sebuah dusun di Desa Cermen Lerek, Kecamatan Kedamean, Kabupaten Gresik. Jarang sekali terlihat kendaraan bermotor melintasi jalan yang telah dihiasi paving block di dusun tersebut. Hanya sesekali terlihat kendaraan roda dua melintas, itu pun kendaraan yang ditunggangi warga sekitar.
Dusun Gorekan Lor juga sangat akrab dengan nama gotong royong dan tolong menolong. Tidak terkecuali saat ada tetangga yang meninggal dunia. Semua warga di sana, siap mengerahkan tenaga memabantu segala proses pengurusan jenazah, hingga dikuburkan.
Proses terakhir, yaitu penguburan, menjadi proses tersulit dari seluruh rangkaian pengurusan jenazah di sana. Itu tak lain karena setiap jenazah yang hendak dikuburkan, harus dihanyutkan terlebih dahulu melintasi aliran Kali Lamong, sebelum mencapai Tempat Pemakaman Umum (TPU) Gorekan Lor.
"Jenazah biasanya disebrangkan menggunakan semacam perahu buatan. Perahunya dibuatkan kadang dari pohon pisang, kadang menggunakan ban bekas," ujar salah seorang warga, Agus Setiawan (34) kepada Republika, Jumat (15/2).
Berdasarkan pengakuan Agus, praktik tersebut sudah dijalankan warga sekitar selama berpuluh-puluh tahun. Itu tak lain karena tempat pemakaman dan tempat tinggal warga, terpisahkan Kali Lamong. Praktik tersebut terpaksa dilakukan lantaran tidak adanya jembatan yang menghubungkan kedua tempat dimaksud.
"Sebenarnya bisa saja lewat jalur darat. Tapi jaraknya jauh, bisa sampai 7 kilometer. Melewati dua kecamatan, yaitu Kecamatan Benjeng, dan Kecamatan Cerme," ujar Agus.
Menghanyutkan jenazah menyeberangi Kali Lamong bisa dikatakan berbahaya, tidak saja bagi jenazah, tapi juga bagi mereka yang menyeberangkannya. Itu tak lain karena saat musim penghujan, air meluap. Sehingga lebar kali bisa mencapai 20 meter dengan kedalaman kurang lebih 10 meter.
Setelah berhasil melewati Kali Lamong, jenazah masih harus digotong melintasi perkebunan, sebelum benar-benar tiba di tempat pemakaman. Namun, bagi Agus dan warga sekitar, praktik tersebut tidak lah sulit. Itu tak lain karena warga masyarakat di sana, selalu siap bergotong royong, kapan pun dibutuhkan.
"Kalau saat kemarau sih lebih mudah karena bisa melewati kali tanpa perlu perahu buatan. Paling kalau kemarau, airnya kan surut. Paling lebarnya juma 3 meteran, terus dalemnya sepinggang," kata bapak dua anak tersebut.
Warga Dusun Gorekan Lor lainnya, Mujiono (53) berharap pemerintah setempat segera membangun jembatan yang menghubungkan dusun tersebut. Dia mengaku, jembatan tidak saja dibutuhkan saat penguburan jenazah saja, melainkan juga untuk memperlancar proses pertanian warga masyarakat.
"Kan banyak juga warga masyarakat yang kebun dan sawahnya di seberang sana. Jadi merek saat panen, hasil panennya juga diseberangkan dengan cara dihanyutkan ke Kali Lamong itu," ujar Mujiono.
Kepala Dusun Gorekan Lor, Matjuari mengaku, warga sekitar sudah berkali-kali mengusulkan pembangunan jembatan di sana. Bahkan sempat mengusulkan agar dana desa dialokasikan untuk pembangunan jembatan tersebut. Namun, kata dia, setelah dihitung-hitung, dana desa yang tersedia, tidak akan cukup untuk pembangunan jembatan di sana.
"Ya sekarang kalau dana desa dikesiniin, tidak akan bisa membangun yang lainnya. Terus pembangunan jembatan ini dianggapnya bukan priorits, artinya masih ada pembangunan lain yang dianggap pemerintah desa lebih prioritas," kata Matjuari.
Matjuari menambahkan, untuk dibuatkan jembatan sementara menggunakan kayu ataupun bambu, juga tidak memungkinkan. Itu tak lain karena saat hujan lebat, dan air Kali Lamong meluap, jembatan yang dibuat dengan swadaya masyarakat itu pasti hanyut.
February 15, 2019 at 03:20PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2X7jxRI
via IFTTT
No comments:
Post a Comment