REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjidil Aqsa yang terletak di Baitul Maqdis, Palestina, adalah kiblat pertama umat Islam sebelum dialihkan ke Masjidil Haram di Makkah. Masjdil Aqsa merupakan salah satu masjid yang dimuliakan dalam agama Islam karena memiliki posisi yang begitu penting bagi agama Islam.
Kisah peralihan arah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Baitullah di Makkah diabadikan dalam Alquran, Surah Al Baqarah, mulai dari ayat 142-145. Dalam kitab suci umat Islam itu dikisahkan bagaimana posisi, argumentasi, manfaat, dan konsekuensi hukum, serta dampak horizontal yang muncul setelah dipindahkannya arah kiblat ke Baitullah, Makkah.
Al-Aqsha dan Palestina atau Al-Quds dahulu memiliki posisi penting bagi Islam. Karena itu, para khalifah berusaha mempertahankan agar Al-Quds berada di genggaman umat. Khalifah Umar bin Khattab untuk kali pertama menaklukkan Al-Quds. Para pemimpin Dinasti Umayyah juga berusaha memosisikan Al-Quds sebagai kebanggaan umat sekaligus dijadikan alat propaganda bagi dinasti mereka.
Khalifah Abd Al-Malik bin Marwan secara khusus membangun qubbat as shakrah yang terletak tak jauh dari Al-Aqsha. Pemimpin Dinasti Ayyubiyah, Shalahuddin Al-Ayyubi, tercatat berhasil merebut Al-Quds dari cengkeraman Tentara Salib. Bukti keistimewaan Al-Quds tak hanya termaktub oleh Kitab Suci.
Keutamaan kiblat pertama umat Islam itu tercatat pula di beberapa hadis-hadis Rasulullah. Pada era Shalahuddin itulah muncul beragam kitab yang mencoba menguak tentang keutamaan Al-Quds secara spesifik. Salah satunya ialah kitab Fadlail Al-Quds yang ditulis oleh Abu Al Faraj Abdurrahman Ibnu Ali Ibnu Al-Jauzi.
Kitab seperti ini tergolong langka. Betapa tidak, manuskrip kitab tersebut hanya diperoleh di Universitas Princeton, New Jersey, Amerika Serikat. Ibnu Al-Jauzi yang menerima kabar keberhasilan Shalahuddin merebut Al-Quds pada 27 Rajab 583 H diminta oleh sejumlah warga Al Quds untuk menulis sebuah kitab yang secara khusus mengupas tentang hadis-hadis keutamaan wilayah tersebut. Ibnu Al-Jauzi dianggap berkompeten lantaran kepiawaiannya menguasai hadis, baik secara riwayat maupun dirayat.
Kendati begitu, ia belum pernah menginjakkan kakinya di bumi Al-Quds. Seandainya ia melihat secara langsung kiblat pertama umat Islam, niscaya akan banyak persepsi yang lebih utuh tentang Al-Quds yang diperolehnya.
Sedangkan, hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kitabnya tersebut memiliki tingkat validitas yang beragam, ada yang musalsal hingga Rasulullah, sebagiannya hanya sampai ke Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Said bin Al Musayyyib, Ka'ab Al Akhbar, atau Ibnu Abbas.
Sumber riwayat yang diperoleh Ibnu Al-Jauzi berasal dari guru-gurunya secara langsung ataupun dinukil dari sejumlah kitab. Misalnya, dalam kitab ini, Ibnu Al-Jauzi memperoleh sanad hadis dari sang guru, Abu Al-Ma'mar Al-Mubar Ibnu Ahmad Al Anshari. Total riwayat yang ia peroleh dari gurunya itu berjumlah 20 riwayat.
Pada masa berikutnya, terdapat banyak kitab yang mengangkat tema keutamaan Al-Quds. Misalnya, Bahauddin Ibnu Asakir yang menulis kitab bertajuk Al-Jami' Al-Mustaqsha fi Fadlail Al-Masjid Al-Aqsha. Selain itu, Aminuddin Ibnu Hibbatullah As-Syafi'i mengarang kitab Al-Unsu fi Fadlail Al-Quds.
Sedangkan, Burhanuddin Al-Fazari atau yang masyhur dengan panggilan Ibnu Al-Firkah menulis kitab Ba'its An Nufus ila Ziyarat Al-Quds Al-Mahrus. Ulama yang menulis keutamaan Al-Quds yang terinspirasi langsung oleh kitab karya Ibnu Al-Jauzi, antara lain, Ibnu Fadlulullah Al-Umari dan As-Suyuthi.
April 17, 2019 at 03:46PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Iz0tHg
via IFTTT
No comments:
Post a Comment