REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika utang piutang terjadi antara pihak-pihak yang telah saling mengenal baik sebelumnya, seperti antarsaudara, kerabat, atau sahabat, mereka cenderung menggampangkan. Maka tak jarang, akad utang-piutang cukup disampaikan secara lisan, bahkan bisa jadi hanya dengan beberapa kata yang teruntai lewat SMS.
Namun, Islam tidak mengajarkan demikian. Mari cermati Alquran surah al-Baqarah ayat 282: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur ..."
Begitulah, utang piutang wajib dilakukan dengan sikap amanah dan tertulis secara terperinci. Misalnya, menulis nama yang berutang, nama yang berpiutang, jumlah utang, tanggal berutang, tanggal pelunasan, cara pelunasan, dan lain-lain. Harus pula dibubuhkan tanda tangan orang yang berutang sehingga tidak terjadi penipuan yang bertujuan menghilangkan hak si pemilik harta.
Ensiklopedia Adab Islam, Menurut Alquran dan As-Sunnah juga menyebutkan, ketika utang piutang dilakukan, harus pula disaksikan dua orang yang adil dan dapat dipercaya karena hal itu lebih menguatkan penulisannya. Selain itu, disertai pula dengan membubuhkan tanda tangan saksi-saksi yang ada.
Sebagian orang merasa malu jika utang piutang dilakukan secara tertulis. Orang itu mengira bahwa hal tersebut menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pihak yang berutang, terutama jika kedua belah pihak memiliki hubungan kerabat dekat, tetangga, atau teman akrab.
Opini seperti itu tidaklah benar. Sebab, ketika Alquran turun kepada satu generasi, yaitu generasi sahabat Rasulullah SAW yang terdiri dari orang-orang pilihan dan generasi terbaik, saat itu telah diperintahkan untuk menulis setiap utang piutang yang dilakukan, sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas.
Jaga nama baik
Umat Islam hendaknya melaksanakan apa yang tertera dalam ayat tersebut meski hukumnya istihbaab (anjuran). Sebenarnya, utang piutang yang tertulis berfungsi menjaga hak kedua belah pihak. Selain itu, untuk menjaga harta orang yang berpiutang apabila ia wafat sebelum orang yang berutang melunasinya, atau jika salah satu pihak lupa, atau seandainya muncul pengingkaran terhadap utang tersebut, dan lain-lain.
Menuliskan utang piutang juga dimaksudkan untuk menjaga nama baik orang yang berutang dan menghindari dirinya dari tuduhan tidak bertanggung jawab atau tidak memegang amanah. Juga untuk menjaga apabila orang yang berpiutang mengklaim jumlah yang lebih banyak daripada utang yang sebenarnya, atau ia digoda setan sehingga mengingkari utang yang telah ia pinjam, atau ia meninggal dalam keadaan berutang yang belum lunas, dan hal-hal lainnya.
Apabila utang tersebut dilakukan dengan cara cicilan, maka bagi yang berpiutang hendaknya juga menuliskan setiap jumlah yang dicicil oleh yang berutang. Dan, jika utang telah lunas, maka bagi yang berpiutang hendaknya mengembalikan surat piutang tersebut atau menyobeknya di hadapan orang yang berutang. Bisa juga dengan menuliskan pernyataan bahwa utang tersebut telah lunas atau dengan cara lain tanpa harus diminta oleh orang yang berutang.
Hal ini perlu karena orang yang berutang terkadang merasa malu meminta surat utang yang pernah ia tulis sendiri. Apabila orang yang berpiutang tidak melakukan hal itu, maka hendaknya orang yang berutang tidak perlu merasa malu meminta surat utang tersebut demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
April 17, 2019 at 03:39PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Pi9hCL
via IFTTT
No comments:
Post a Comment