REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Pada 17 Mei merupakan peringatan Hari Buku Nasional. Penentuan hari buku ini ditetapkan pada 2002, di masa Mendikbud dijabat A Malik Fadjar, era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Pemilihan tanggal 17 Mei dinisbahkan pada peristiwa pembangunan gedung perpustakaan nasional pada 17 Mei 1980, di masa mendikbud Daoed Joesoef di era Orde Baru Soeharto. Saya belum mendapat penjelasan mengapa hari buku diambil dari perisitwa pembangunan gedung perpustakaan. Tentu saja perpustakaan terkait dengan buku. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa penisbahan itu bukan pada hal lain.
Mari kita lihat perbandingannya. Hari Buku Internasional jatuh pada 23 April. Hal itu ditetapkan Unesco pada 1995. Penisbahan itu dikaitkan dengan tanggal kematian Miguel de Cervantes Saavedra (sastrawan dari Valencia, Spanyol, 1547-1616) pada 23 April 1616 – ternyata itu juga menjadi tanggal kematian William Shakespeare (dramawan dari Inggris). Mengapa memilih Cervantes? Ternyata dia adalah penulis pertama novel modern. Pasti kita sudah sangat mengenal karyanya dibandingkan dengan penulisnya. Ya, Cervantes adalah penulis novel Don Quixote. Novel ini begitu masyhur, hingga kini.
Menisbahkan hari buku ke penulis atau sebuah karya buku tentu lebih afdol dibandingkan dengan menisbahkan ke dalam pembangunan sebuah gedung, apalagi gedung itu baru dibangun di era kini, tak fenomenal, dan bahkan perpustakaan nasional pindah ke gedung baru di tempat lain. Apapun kita patut mensyukuri bahwa kita memiliki hari buku nasional. Ini bisa dijadikan momen untuk introspeksi diri, sampai sejauh mana dunia perbukuan berkembang? Berapa judul buku yang terbit tiap tahun? Pada derajat berapa minat baca buku orang Indonesia? Dengan demikian, kita bisa menengok sampai seberapa jauh kita melangkah.
Era Lampau
Sejak kapan Indonesia mengenal buku? Ada yang mencatat bahwa buku pertama lahir pada abad ke-9. Ya, itu adalah lahirnya serat Ramayana. Ini adalah kisah klasik dari India. Saat itu, bumi Nusantara berada dalam pengaruh Hindu. Buku Ramayana itu ditulis dengan syair tembang. Ada beragam serat yang ditulis yang menyadur kisah-kisah dalam sastra India seperti Mahabharata, Bharatayuddha, dan lain-lain. Namun setelah itu dunia penulisan seolah berhenti. Baru di era Majapahit dunia kepenulisan hidup lagi.
Salah satu karya sastra yang popular adalah Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama (Nyanyian Desa-desa Jawa atau Negara Kertagama). Syair ini berkisah tentang sejarah tanah Jawa, namun tentu fokus pada kejayaan Majapahit di era Hayam Wuruk, era saat syair tersebut ditulis. Tentu saja kisah itu ditulis atas restu sang raja. Buku itu ditulis dalam bentuk syair tembang dalam 47 lembar lontar. Syair itu berisi 386 bait. Selesai ditulis September-Oktober 1365. Syair ini ditulis oleh Mpu Prapanca. Selain menjadi dokumen penting tentang bukti kejayaan Majapahit, dalam kakawin ini juga menyebutkan diksi Pancasila –sebuah istilah yang kemudian diadopsi Sukarno tentang dasar negara Indonesia. Memang isi Pancasila dalam kakawin tersebut berbeda dengan isi Pancasila yang dimaksud Sukarno.
Buku penting lainnya pada era ini adalah sebuah kitab yang ditulis Mpu Tantular yang berjudul Kakawin Sutasoma. Dari kitab inilah Indonesia mengadopsi istilah Bhineka Tunggal Ika. Mpu Tantular menulisnya dalam konteks untuk menjembatani agama-agama yang ada saat itu, terutama Hindu Siwa dan Buddha Mahayana.
Kehadiran pujangga-pujangga keraton seperti Mpu Prapanca dan Mpu Tantular merupakan tradisi yang terus hadir dalam sejarah kerajaan di Jawa. Para pujangga itu menulis sejarah maupun ajaran-ajaran moral dan agama yang menjadi pegangan dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan. Biasanya mereka menulis dalam bentuk syair tembang. Jika di era Hindu maupun Buddha menulis dengan tentrum India, maka di era Mataram Islam, para pujangga itu menulis syair tembang tersebut dalam pengaruh tradisi Islam, khususnya Persia.
Salah satu pujangga yang sangat masyhur adalah Ranggawarsita dari keraton Surakarta. Ranggawarsita sangat produktif menulis. Di antara karya-karyanya adalah Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, Serat Cebolek, Serat Jakalodhang, Serat Paramayoga, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Supanala, Suluk Suksma Lelana, dan sebagainya. Serad Wirid Hidayat Jati bahkan menjadi semacam induk ajaran Kejawen yang terus berlangsung hingga kini. Kitab ini mencoba mensinergikan ajaran dari era animisme, Hindu, dan Islam.
Namun semua buku yang ditulis di era Hindu, Buddha, maupun Islam itu bukanlah karya yang ditulis dalam langgam modern. Bagi generasi baru tak mudah untuk memahaminya, penuh seloka dan bahasa yang menyimpan makna. Buku-buku era modern hadir setelah Indonesia dijajah bangsa-bangsa Eropa.
Salah satu novel yang lahir di abad ke-19 yang tetap relevan dibaca hingga kini dan memiliki pengaruh besar pada masanya adalah novel yang berjudul Max Havelaar, yang ditulis Multatuli (sebuah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker). Novel ini ditulis pada 1860, dan menjadi salah satu pemicu lahirnya Politik Etis. Novel ini berkisah tentang kondisi penjajahan di Lebak, Banten, yang menjadi daerah perkebunan kopi yang penting saat itu. Walau novel itu bersimpati terhadap bangsa pribumi, namun tetap saja itu bukan novel nasional. Selain ditulis oleh orang Belanda, juga terbit di Belanda dan dalam Bahasa Belanda. Karena itu buku ini tak bisa menjadi ukuran sebagai buku nasional.
Era Modern
Lalu buku nasional apa yang pertama lahir di Indonesia? Hingga kini belum ada riset yang kuat tentang ini. Pers nasional pertama adalah Medan Prijaji (Medan Priyayi) yang lahir pada 1907, yang didirikan Tirto Adhi Soerjo. Wartawan nasional generasi pertama adalah Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco, dan lain-lain. Namun buku pertama masih belum diketahui. Jika kita merujuk pada periodesasi HB Jassin, angkatan pertama sastrawan Indonesia adalah Angkatan Pujangga Lama. Angkatan ini terutama didominasi oleh sastrawan dan penulis dari Sumatra seperti Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Syamsuddin Pasai, Nuruddin ar Raniri, Abdurrauf Singkil. Namun yang pertama adalah Hamzah Fansuri. Dia berasal dari Barus, Tapanuli, namun menetap di Aceh. Dia banyak melakukan perjalanan ke berbagai negeri. Ia menulis puisi –bahkan A Teeuw menyebut Fansuri sebagai pemula puisi Indonesia– dan buku-buku tasawuf.
Kita memang tak cukup akrab dengan karya penulis angkatan Pujangga Lama ini – yang masih sering diterbitkan adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji atau Hikayat Abdullah karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kita justru lebih akrab dengan penulis dari Angkatan Balai Pustaka (1920an). Kita mengenal Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan lain-lain. Namun karya pertama angkatan ini adalah novel berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920.
Apakah tidak ada buku selain sastra yang menjadi buku pertama nasional yang ditulis dalam langgam modern? Ada baiknya kita menengok tulisan Tan Malaka dan HOS Tjokroaminoto. Atau patut juga melihat kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al Bantani (1813-1890) atau Kiai Soleh Darat. Syekh Nawawi adalah seorang ulama yang menulis sekitar 115 kitab. Ia memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan ulama dan agama Islam di Indonesia melalui murid-muridnya yang berguru secara langsung maupun melalui kitab-kitabnya yang menjadi rujukan di dunia pesantren. Kitab-kitabnya menjadi rujukan hingga kini. Ia bahkan dijuluki sebagai Sayid Ulama Hijaz karena menjadi ulama dan imam di Masjidil Haram.
Dari jalur ayahnya, Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Sultan Hasanudin, pendiri kesultanan Banten. Namun ibunya adalah orang biasa dari Tanara, Serang, Banten. Setelah tiga tahun bermukim di Makkah, pada 1828 ia kembali ke Serang. Ia giat berdakwah. Saat itu sedang bergejolak Perang Diponegoro. Dalam dakwahnya ia menggelorakan perlawanan terhadap Belanda, sehingga ia dituduh sebagai pengikut Diponegoro. Akhirnya ia diusir dan kembali ke Makkah. Di sana ia menjadi guru bagi para santri, termasuk dari Indonesia. Hampir semua ulama masyhur di Indonesia merupakan murid-muridnya, seperti Kiai Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, Kiai Soleh Darat, dan sebagainya. Ulama-ulama yang menjadi motor perang Cilegon pada 1888 adalah murid-muridnya. Di antara kitab-kitabnya yang kita kenal adalah Tafsir al Munir, Sullam Munajah, Fathul Qarib, Syarah Uqudul Lujain.
Kiai Soleh Darat (1820-1903) lahir di Jepara dan meninggal di Semarang. Ayahnya adalah seorang pejuang pengikut Pangeran Diponegoro. Ia menjadi guru banyak ulama, bahkan RA Kartini pun berguru kepadanya. Semua kitabnya ditulis dalam Bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon. Di antaranya adalah Kitab Majmu’ah Syariah Kahfiyah lil Awam, al Hikam (ringkasan kitab al Hikam karya Ibnu ‘Athoillah), dan tafsir Faidhir Rahman.
Tan Malaka (1897-1949) adalah salah satu pejuang Indonesia yang produktif menulis buku, bukan sekadar artikel di koran ataupun penulis pidato pembelaan di pengadilan – hampir semua perintis kemerdekaan adalah penulis yang produktif di media massa. Ada lebih dari 20 buku yang ditulis Tan Malaka, di antara buku-bukunya yang terkenal adalah Madilog dan Dari Penjara ke Penjara. Namun dua buku itu ditulis pada 1943 dan 1947-1948. Bukunya yang pertama adalah Parlemen atau Soviet (1920). Namun bukunya yang penting di masa awal adalah Menuju Republik Indonesia (1924). Buku ini sangat visioner tentang masa depan Indonesia. Karena itu majalah Tempo menjulukinya sebagai Bapak Republik Indonesia.
Tan adalah seorang revolusioner. Awalnya dia seorang pengikut komunisme, bahkan menjadi wakil komintern untuk Asia. Karena itu ia termasuk generasi awal penyebar komunisme di Asia. Ia berkeliling ke berbagai negara menyebarkan komunisme. Namun kemudian ia keluar dari komunisme, terakhir mendirikan Partai Murba.
HOS Tjokroaminoto (1883-1934) adalah pemimpin besar pertama Indonesia. Ia memimpin Syarekat Islam dan orator ulung yang menjadi guru Sukarno, termasuk dalam kepandaiannya memukau massa. Selain seorang organisatoris dan orator, Tjokro juga menulis sejumlah buku. Belanda menjulukinya sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota. Setidaknya ada dua buku yang terlacak pernah ditulisnya yaitu Islam dan Sosialisme (1924) dan Tarikh Agama Islam. Buku Islam dan Sosialisme memiliki pengaruh yang besar di masanya, karena setelah Revolusi Bolshevik (1917), komunisme digandrungi banyak tokoh-tokoh anti kolonialisme di seluruh dunia. Buku Tjokro memberi jalan bahwa untuk menjadi revolusioner tak mesti menjadi komunis.
Setelah Merdeka
Setelah merdeka, kehidupan perbukuan di Indonesia tumbuh dengan pesat. Anak-anak haus untuk maju. Para orangtua pun gandrung. Maka pada 1953, toko buku dan penerbit buku NV Gunung Agung mengadakan pameran buku kecil-kecilan. Ternyata peminatnya membludak. Maka pada tahun berikutnya, Gunung Agung mengadakan pameran buku berskala nasional di tempat yang representatif. Inilah pameran buku yang pertama di Indonesia. Para menteri dan pejabat hadir memberikan sambutan. Pengunjung juga membludak. Dari foto-foto dokumentasi tampak anak-anak pun antusias hadir. Pameran yang diberi judul Pekan Buku Indonesia itu berlangsung 8-14 September 1954. Panitia pun hingga dua kali menerbitkan buku semacam laporan dari kegiatan tersebut. Selain berisi pidato dan sambutan-sambutan, buku itu juga memuat profil para pengarang, daftar toko buku di seluruh Indonesia, daftar percetakan buku seluruh Indonesia, dan daftar penerbit buku seluruh Indonesia.
Pameran itu diikuti oleh seluruh penerbit, ada 457 penerbit dari 47 kota. Kita mungkin tak membayangkan bahwa dunia buku demikian menyebar merata, bukan hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, atau Surabaya tapi juga Tegal, Temanggung, Cirebon, Tomohon, Tulung Agung, Watampone, Wereli (Weleri, Kendal?), Sawahlunto, Ponorogo, Mojokerto, Langsa, Madiun, Amuntai, dan lain-lain. Memang peserta terbesar berasal dari kota-kota besar seperti Bandung 42 penerbit, Jakarta 176 penerbit, Yogyakarta 31 penerbit, Medan 49 penerbit, Semarang 20 penerbit, Surabaya 40 penerbit. Kita ragu jika saat ini di kota-kota kecil tersebut masih ada penerbit-penerbit buku. Saat itu ada 10 ribu buku yang dipamerkan.
Dunia buku saat ini, setelah lebih dari 70 tahun merdeka, masih belum juga menggembirakan. Jumlah judul buku yang terbit per tahun masih rendah. Tingkat minat baca buku masyarakat pun masih rendah. Berdasarkan data Ikapi tahun 2015, di Indonesia terdapat 1.328 penerbit buku. Sedangkan pada 2018 ada 1.488 penerbit.
Pada data 2015, sebagian besar ada di Jakarta, yaitu 504 penerbit (38%). Mayoritas di Jawa, tak termasuk Jakarta, yaitu 687 penerbit (52%). Sisanya di luar Jawa, yaitu 137 penerbit (10%). Berdasarkan data penjualan, pada 2014 bernilai Rp 8,51 triliun. Tak semua penerbit aktif. Hanya 711 yang masih aktif menerbitkan buku, sedangkan 617 penerbit lagi tak aktif menerbitkan buku. Ada 80% penerbit aktif menerbitkan 10-50 judul buku per tahunnya, sedangkan 17% menerbitkan 50-200 judul buku per tahun. Sisanya, 3% menerbitkan lebih dari 200 judul buku per tahun.
Rata-rata tiras buku per judul adalah 3.000 eksemplar. Hanya 3% judul buku yang mampu mencapai penjualan 15 ribu eksemplar, itupun umumnya buku-buku sekolah. Berdasarkan data 2015 itu, tiras buku sekolah adalah 37,8 juta eksemplar, sedangkan buku umum bertiras 101,235 juta eksemplar.
Berdasarkan kategori buku (2014), sebagian besar bertema anak-anak, yaitu 22,64%, disusul buku fiksi 12,89%, buku agama 12,85%, dan buku sekolah 12,04%. Sisanya adalah tema-tema lain. Adapun dari sisi judul buku, data 2014 menunjukkan ada 24.204 judul buku (berdasarkan data di toko buku Gramedia). Namun jika dilihat dari data ISBN Perpustakaan Nasional ada 44.327 judul buku.
Berdasarkan data BPS tahun 2010, tingkat melek huruf Indonesia adalah 96,07%. Angkanya memang belum 100%. Ini menunjukkan masih ada orang Indonesia yang buta huruf. Namun ini sudah lebih baik dibandingkan dengan India. Ini menunjukkan tingkat kesuksesan pendidikan di Indonesia. Namun tingkat minat bacanya masih rendah. Berdasarkan data Unesco pada 2012, tingkat minat baca Indonesia adalah 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca. Tentu saja ini menyedihkan. Walaupun kita layak kritis terhadap angka survei tersebut. Betulkah serendah itu?
Harus diakui harga buku di Indonesia memang tergolong mahal dibandingkan dengan pendapatan perkapitanya. Tak ada insentif dari pemerintah untuk dunia buku. Terlalu banyak pajak untuk buku: pajak kertas, pajak cetak, pajak tinta, pajak penulis, pajak toko. Setiap berganti presiden selalu diminta untuk ada insentif, tapi selalu gagal.
Pemerintahan Jokowi yang banyak memberikan insentif pajak pun tetap tak menyentuh buku, padahal untuk amusemen, tontonan, dan dunia hiburan lain sudah tak dikenai pajak. Harga buku merupakan salah satu faktor, faktor lain adalah akses publik terhadap buku, terutama di daerah. Ada pendapat bahwa 40% buku terserap di Jakarta. Masih banyak pekerjaan rumah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai amanat Pembukaan UUD 1945.
Selamat Hari Buku Nasional.
May 19, 2019 at 05:52PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2VL3wEd
via IFTTT
No comments:
Post a Comment