REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Haedar Nashir
Muhammad Abduh pernah berujar: “Aku berlindung kepada Allah dari politik dan segala yang terkait dengannya". Seorang sufi modern mungkin boleh merintih sama, “Aku berlindung kepada Allah dari media sosial dan segala hal yang berhubungan dengannya”. Media sosial yang hadir di ruang publik saat ini menyerupai peyoratif politik ala pembaru dari Negeri Piramid itu.
Politik dan medsos tentu dunia baik dan bukanlah setan. Namun, politik dan medsos sebagaimana aspek hidup lainnya dalam titik ekstrem dapat bersifat buruk ketika membawa muatan hawa nafsu mengikuti perangai setan.
Nafsu ego, takhta, harta, dan segala hasrat indrawi yang meluap melebihi takaran. Padahal, hawa nafsu, ujar sufi ternama Jalaluddin Rumi, ketika menguasai jiwa ia bagaikan ibu dari semua berhala. Semua bergantung pada bingkai nilai dan para penggunanya.
Dunia tentu tidak selalu ekstrem dan negatif. Politik pun di mata Abduh memiliki sisi baik seperti kepentingan tanah air, demokrasi, dan sistem hukum tempat manusia membangun peradaban sebagaimana tertulis dalam karyanya, Islam baina al-‘Ilm wa al-Madaniyah. Namun, politik yang nirnilai di matanya sulit menjadi alat pembaruan dan pembangun peradaban utama.
Abduh memang memiliki pengalaman pahit soal politik. Setelah sempat aktif di dunia politik bersama sahabat dan gurunya, Jamaluddin al-Afghani, dia merasakan betapa politik sering paradoks. Elite yang didukungnya menjadi pemimpin Mesir kala itu ingkar janji dan menjalankan kekuasaan jauh panggang dari api.
Perjuangan dan konflik di dunia politik dirasakan sangat keras, yang juga menimpa dirinya. Dia pernah terlibat dalam pemberontakan Urabi. Lalu, dia mundur dari panggung politik dan kembali ke Al-Azhar untuk menjadi penerang dunia ilmu dan peradaban.
Ketika insan Muslim tengah mengakhiri bulan Ramadhan dan beberapa hari segera memasuki Idul Fitri nan sarat makna, sungguh saat paling tepat berefleksi, bagaimana mengapitalisasi puasa untuk imsak. Menahan diri dari segala godaan duniawi semisal medsos sebagaimana politik, yang sering memenjara setiap insan berakal dalam sangkar besi ananiyah-nafsiyah yang merugikan diri dan kehidupan bersama.
Media sosial
Medsos bagaikan dewa janus bermuka dua, wajah baik dan buruk. Medsos merupakan media daring yang para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan dunia virtual yang meluas.
Melalui media baru ini, manusia menjadi sangat mudah, cepat, efisien, serta memiliki daya jalar dan pengaruh dahsyat dalam relasi sosial manusia. Segala kebaikan sekaligus keburukan dapat bersemai subur melalui media berbasis teknologi digital itu. Dunia baru ini seperti tabularasa, hitam dan putihnya bergantung pada si empunya.
Mengirim pesan-pesan agama yang mencerahkan dapat dilakukan dengan semudah-mudahnya melalui medsos. Medsos dapat menjadi alat kebajikan setiap insan, termasuk untuk menolong sesama dan menebar segala benih keutamaan hidup di dunia. Orang beriman dapat berbagi ilmu dan beramal saleh melalui media daring yang masif ini.
Di media digital ini setiap insan dapat menjadi sarana merajut silaturahim dan ikatan ukhuwah paling efektif, meski berada di dunia maya. Melalui medsos, dengan segala amal kebajikan atas ridha Allah, insan beriman dapat tiket masuk surga. Karena medsos pula, boleh jadi sebaliknya bisa masuk neraka, yang sangat tidak diinginkan oleh setiap insan beriman.
Pada era dunia digital, melalui medsos segala kemungkaran atau keburukan pun dapat menjalar seketika. Kini menjelma cybercrime, kejahatan dengan pemanfaatan teknologi internet, yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi.
Cybercrime merupakan evolusi kejahatan “konvensional” dari kejahatan kerah biru (blue collar crime), yaitu pencurian, penipuan, dan pembunuhan ke kejahatan kerah putih (white collar crime), seperti kejahatan korporasi, kejahatan birokrat, malpraktik, dan lain-lain. Sebutlah antara lain hijacking (pembajakan hasil karya orang lain, kejahatan perangkat lunak), cyberterorism, atau kejahatan terorisme melalui internet yang dapat tersebar luas ke segala arah (https:www.herugan.com).
Dalam dunia medsos manusia dapat mengalami “digitalisasi”, insan yang terdigitalkan layaknya mesin. Manusia menjadi asyik dengan orang lain yang ada “di seberang sana”, tetapi abai dengan manusia di dekatnya sehingga mengalami alienasi. Manusia hidup berdekatan, tetapi saling terasing. Alvin Toffler (1970) memperkenalkan sebutan the modular man, yakni manusia yang berpikir ala modul laksana mesin atau robot.
Meski melalui teknologi intelegensi artifisial (artificial intelligence) konon lahir robot-robot “berperasaan” seperti imajinasi sutradara film ternama, Steven Allan Spielberg. Namun, sejatinya mesin tetaplah mesin, bukan makhluk Tuhan yang memiliki jiwa nan fitrah.
Dalam dunia media sosial dan relasi digital keadaban mengalami peluruhan. Sopan santun, tutur kata baik, kejujuran, dan nilai-nilai budi luhur tergerus oleh hoaks, silang sengketa, ujaran-ujaran buruk, fitnah, ghibah, dan segala hal buruk yang dicandrakan menjadi lumrah. Imajinasi dan hoaks pun dapat dijadikan kebenaran terstruktur, sistematis, dan masif dalam selimut simulacra yang memesona ala realitas buatan Jean Baudrillard.
Prasangka, opini sepihak, data bias, dan subjektivitas serta-merta dianggap benar secara mutlak dalam aura hidup pasca-kebenaran (post-truth). Publik mudah tergiring pada isu-isu dan tayangan-tayangan panas yang dapat memantik emosi kolektif secara luas tanpa endapan kejernihan hati dan pikiran jernih. Setiap orang bisa saling berseteru ujaran secara garang dan berhadapan tanpa rasa sungkan karena dunia digital ini bersifat impersonal dan tidak menyentuh ranah personalitas yang bersifat langsung.
June 02, 2019 at 07:09AM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Z4S1ER
via IFTTT
No comments:
Post a Comment