REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menuding, kualitas garam lokal yang kurang sesuai dengan standar industri kerap dijadikan alasan impor garam terus berlangsung. Padahal KKP mengklaim, berdasarkan komitmen penyerapan garam lokal oleh industri, garam lokal yang ada belum sepenuhnya diserap industri.
Berdasarkan catatan KKP, jumlah produksi garam lokal on farm hingga Desember 2018 berjumlah 2.719.256 ton. Jumlah tersebut terdiri dari garam rakyat sebesar 2.349.630 ton dan PT Garam sebesar 369.626 ton. Adapun produksi garam per Juli 2019 mencapai 13.664,21 ton yang terdiri dari garam rakyat sebesar 3.164,21 ton dan PT Garam sebesar 10.500 ton.
“Intinya mereka (industri) mengimpor karena (garam impor) lebih murah, ini masalah keberpihakan saja (bukan soal kualitas),” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (28/7).
Menurut dia, dulu garam rakyat dapat digunakan industri aneka pangan dalam sejarahnya. Brhamantya mengatakan harusnya sektor industri aneka pangan saat ini menyerap garam rakyat, bukan justru mengimpor garam dari luar. Dia mengatakan, untuk kebutuhan tertentu seperti sektor industri kimia dan soda kostik memang masih membutuhkan kriteria garam tertentu.
Sedangkan di sisi lain berdasarkan hasil rapat koordinasi (rakor) di tingkat kementerian pada 20 Juli 2019, kata dia, terdapat kesepakatan yang diinisiasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk menyerap garam rakyat sebesar 1.128.500 ton. Adapun saat ini garam rakyat yang baru diserap industri, kata dia, baru 962.220 ton. Artinya masih ada kekurangan penyerapan sebesar 166.280 ton.
“Kita harap ada MoU baru dari Kemenperin untuk serap di periode Juli 2019-Juni 2020,” kata dia.
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam disebutkan, garam industri adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk kebutuhan industri dengan kadar NaCl paling sedikit 97 persen dihitung dari basis kering. Sedangkan garam konsumsi dihitung dengan kadar NaCl mencapai 94,7 persen.
Terkait dengan kualitas garam rakyat, menurutnya semakin kering garam maka semakin tinggi kualitasnya. Mengacu laporan dari sejumlah petani garam, menurut dia sejumlah program pembinaan dan pengembangan produksi garam rakyat sudah mengarah pada kualitas tersebut. Kondisi hasil produksi petani garam pun dilaporkan cukup memuaskan dengan tekstur putih garam yang sudah lolos uji laboratorium.
Sedangkan terkait dengan harga pembelian pemerintah (HPP) garam yang baru akan diatur dalam regulasi oleh pemerintah sebagai bagian dari barang pokok dan barang penting, pihaknya akan memintai saran petani untuk menentukan harga ideal HPP. Hanya saja dia menggarisbawahi adanya HPP nanti dalam regulasi tidak dijadikan sejumlah pihak untuk menjadikan kuota garam impor tak terkontrol. Untuk itu dia menilai saat ini yang terpenting adalah bagaimana upaya pemerintah menyerap secara maksimal garam rakyat.
“Bayangkan kalau (HPP) Rp 700 per kg jadi Rp 1.200 per kg, bakal jadi seperti apa?” kata dia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, hingga saat ini usulan mengenai HPP garam belum diusulkan oleh kementerian-kementerian terkait. Dia mengatakan, usulan tersebut seharusnya disampaikan Kemenperin, KKP, dan Kementan sehingga dapat segera dibentuk ke dalam regulasi.
“(HPP) idealnya berapa itu belum ada yang membicarakan, nantilah kalau sudah ada yang mengusulkan kita tindaklanjuti,” kata Darmin.
July 29, 2019 at 07:22AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Mo7nRC
via IFTTT
No comments:
Post a Comment