REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Informasi mengenai rencana kenaikan dua kali lipat iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi simpang siur. Kemarin, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mengatakan, kenaikan iuran bisa terealisasi Ahad pekan ini, 1 September.
Sebelumnya hanya disebutkan Presiden Joko Widodo segera meneken rancangan peraturan presiden soal kenaikan ini. Kemenkeu sempat mengatakan kenaikan iuran baru akan terealisasi 1 Januari 2020. Belum ada pernyataan khusus dari Presiden Jokowi soal kenaikan iuran ini.
Meski begitu, menurut Puan, dirinya belum menerima rancangan peraturan presiden (perpres) terkait hal itu sehingga belum bisa meneken usulan regulasi tersebut. "Segera, setelah ada di meja saya, langsung saya tanda tangan," kata Puan seusai menggelar rapat dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin.
Puan juga meyakini usulan perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan disetujui Presiden Joko Widodo karena akan memberikan penguatan terhadap BPJS agar tidak defisit lagi. Selain itu, lanjut Puan, pemerintah juga akan mengkaji untuk kembali menyuntikkan dana kepada BPJS Kesehatan. "(Suntikan dana) kita lihat lagi nanti ke depan, ya harapannya defisit berkurang sehingga BPJS bisa mandiri," kata Puan.
Pemerintah dan DPR saat rapat gabungan membahas soal tekornya anggaran BPJS Kesehatan, Selasa (27/8). Dalam rapat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan skema kenaikan BPJS Kesehatan mencapai dua kali lipat dari iuran yang berlaku saat ini.
Iuran kelas mandiri I diusulkan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan. Sedangkan, iuran kelas mandiri II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu per jiwa per bulan.
Iuran kelas mandiri III diusulkan setara dengan penerima bantuan iuran (PBI), yaitu Rp 42 ribu per jiwa per bulan. Jumlah ini naik Rp 16.500 dari iuran saat ini, yakni Rp 25.500 per bulan per orang. Usulan tersebut disampaikan sebagai bentuk upaya untuk mengatasi defisit yang terus melonjak.
Sri Mulyani mengatakan, defisit BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapai Rp 32 triliun. Tanpa kenaikan iuran ini, Menkeu pesimistis keuangan BPJS Kesehatan dapat sehat. Ia bahkan memperkirakan, BPJS Kesehatan akan kembali tekor pada 2021 dan 2022 dan pemerintah harus menalanginya lagi.
Sementara itu, pihak kementerian dan lembaga terkait saat ini disebut masih menyusun draf perpres mengenai kenaikan tarif tersebut untuk disetujui Presiden Joko Widodo. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, usulan kenaikan sudah disetujui Presiden dan tinggal menunggu proses lanjutan untuk disahkan.
Penyusunan perpres tersebut melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, serta BPJS Kesehatan. "Sudah (ditetapkan) dan sudah diajukan. Itu tinggal proses administrasi saja," kata Mardiasmo saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (29/8).
Ia menegaskan, usulan kenaikan tarif tersebut telah melalui kajian dan simulasi sehingga diyakini tidak memberatkan masyarakat. Mardiasmo menyampaikan, esensi dari BPJS Kesehatan adalah asuransi sosial, di mana yang golongan kaya membantu miskin dan yang sehat membantu yang sakit. "Tidak (memberatkan) kita sudah melakukan beberapa kajian," katanya menambahkan.
Di sisi lain, defisit BPJS Kesehatan yang sudah terjadi setiap tahun harus segera dibantu dan dibenahi. Pemerintah ingin agar pengelolaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional dijaga secara berkelanjutan dan sistematif. BPJS Kesehatan harus berbenah.
August 30, 2019 at 07:08AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/32dbogw
via IFTTT
No comments:
Post a Comment