REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan, pedangang yang masih berjualan di trotoar di bawah Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Tanah Abang, pasti akan ditindak. Hal itu seperti yang terjadi pada Kamis (17/1) lalu, dimana penertiban PKL berujung kericuhan.
"Sekaligus kita pesan pada semua kalau melanggar akan ditindak, baik besar maupun kecil. Kalau melanggar Perda (Peraturan Daerah), Pergub (Peraturan Gubernur), maka petugas satpol PP kita yang akan menindak," jelas Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (21/1).
Lalu, jika pelanggaran yang dilanggar menyangkut hukum pidana, maka kepolisian akan turun tangan. "Sekarang sudah terjadi makanya jangan berulang. Tentu sesuai hukum yang ada, masa enggak," ujarnya.
Anies mengatakan, saat ini kasus ricuhnya penertiban di Tanah Abang telah ditangani oleh pihak kepolisian. Oleh sebab itu, dia memperingatkan kepada semua pihak untuk tak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Apalagi, tindakan sampai ranah pidana.
Anies belum membenarkan adanya dugaan keterlibatan preman di balik ricuhnya penertiban itu. Dia lebih menunggu laporan-laporan yang lengkap untuk menjadi bukti adanya keterlibatan preman. Ia berharap, laporan mengenai keterlibatan preman yang dilaporkan oleh Ombudsman RI perwakilan Jakarta Raya bisa diproses untuk menjadi alat bukti. Sehingga, hal itu bisa segera dilakukan tindakan.
"Tapi kalau mau jadi alat bukti untuk bertindak harus ada bukti. Jadi saya berharap laporan ombudsman bisa ditahan untuk alat bukti memproses," katanya.
Ia juga mengaku seharusnya tak perlu ada pendekatan kultural bagi orang-orang yang diduga 'menguasai' Tanah Abang. Menurutnya, pengelolaan Tanah Abang seharusnya dilakukan sesuai dengan aturan. "Siapapun, mau disebut apapun posisinya itu terlalu memberikan label ya, ya pengelola pengelola saja sesuai aturan maka dia tertib kalau pengelola tidak sesuai aturan dia tidak tertib," katanya.
Anies menambahkan, aturan itu pun juga meliputi tak adanya premanisme di wilayah Tanah Abang. "Kalau preman tidak usah didekati, ya aturannya disini tidak ada premanisme, titik," ucapnya.
Wali Kota Jakarta Pusat, Bayu Megantara menyebut pihaknya terus menurunkan 60 personel Satuan Polisi Pamong-Praja (Satpol PP) dan juga 15 petugas Dinas Perhubungan untuk menjaga wilayah Tanah Abang. Penjagaan itu difokuskan dilakukan di bawah JPM Tanah Abang.
"Kita jaga setiap hari. Kita rutin 60 petugas Satpol PP di kawasan itu dengan Dinas Perhubungan sekitar 15 orangan bisa menjaga kawasan itu, di Jalan Jatibaru di bawah JPM," jelas Bayu kepada wartawan, Senin (21/1).
Dia mengatakan, dalam sehari, para petugas terus melakukan penyisiran tiga hingga empat kali. Tugas para petugas adalah menjaga kawasan ruang publik, terutama kawasan trotoar yang memang menurutnya, sudah relatif baik itu. Pihaknya pun akan mengoptimalkan fungsi JPM yang telah terisi sebanyak 460 pedagang itu. Artinya, sisa dari pedagang yang tak mampu ditampung di JPM akan diberikan tempat di Blok F, meskipun ditolak oleh para pedagang.
"Ya itu dia. Seperti yg saya bilang. Sekarang kita cari alternative perlu berapa lagi. Tentu JPM kapasitasnya sangat terbatas," jelasnya.
Ketua Ombudsman RI perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho menyebut adanya preman di balik ricuhnya penertiban pedagang di trotoar adalah sebuah fakta lama. Dia menduga kuat adanya upaya konsolidasi preman yang selama ini mendapat penghasilan dari para pedagang dan kehilangan penghasilan dari penempatan Pedagang Kaki Lima (PKL) ke JPM dan ke Blok F.
"Dengan menarik pedagang baru ke trotoar dan jalan Jatibaru yg sudah kosong karena penempatan PKL ke JPM. Karena para pedagang tersebut adalah pedagang baru yang tidak terdata oleh kami, sewaktu pendataan para PKL Jatibaru," katanya.
Karena keterbatasan JPM, maka sisa pedagang berjumlah sekitar 149 pedagang itu dialihkan ke Blok F. Menurutnya, mereka tidak mau karena kurang laku. Teguh menyebut para pedagang selalu enggan menyebutkan kepada siapa mereka membayar kontribusi. Temuan Ombudsman, bayaran kontribusi kepada sosok yang diduga preman itu adalah sekitar Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari per pedagang dari 650 PKL yang sebelumnya ada di Jalan Jatibaru dan belum ditertibkan ke JPM.
"Yang 500 di antaranya sekarang masuk ke JPM dan blok F. Berapa potensi kehilangan pendapatan per hari para preman ini," ucapnya.
Oleh sebab itu pihaknya menduga adanya preman yang melakukan konsolidasi. Hal itu dengan menempatkan para PKal baru yang mengklaim sebagai PKL yang tidak terangkut ke JPM dan blok F. Pemberantasan preman, kata dia, seharusnya tidak hanya diberantas dengan penegakan hukum dengan penangkapan terhadap preman. Sebab, akar masalahnya bukan di situ.
"Akar masalahnya adalah revitalisasi kawasan TA secara keseluruhan jadi para pedagang ini harus mendapatkan tempat yang representatif. Kami sih mendorong supaya pemprov memperluas lagi JPM ini jadi bukan hanya di jalan Jatibaru," jelasnya.
January 21, 2019 at 05:37PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2FL0ZAN
via IFTTT
No comments:
Post a Comment