REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Serangan Israel terhadap sipil Palestina terus menuai korban luka dan jiwa. Kementerian Kesehatan Gaza menyampaikan, pasien luka-luka semakin bertambah dalam 10 bulan terakhir. Peningkatan jumlah pasien ini membuat rumah sakit di Palestina butuh suplai listrik, obat-obatan, dan keperluan medis lebih dari biasanya. Sementara itu, pasokan listrik yang ada tidak cukup karena krisis bahan bakar yang masih berlanjut di Palestina.
Keresahan di sektor kesehatan juga disampaikan langsung Direktur Kerja sama Internasional Kemenkes Palestina Ashraf Abu Mhadi kepada Aksi Cepat Tanggap (ACT). Senin (21/1), Ashraf mengumumkan, ada lima rumah sakit di Gaza yang terancam tidak dapat lagi beroperasi.
“Kelima rumah sakit itu tidak mendapat suplai bahan bakar untuk mengoperasikan generator diesel sebagai sumber energi pengganti listrik yang padam,” kata Ashraf.
Maryam al Gawga menyampaikan ketakutannya kepada Middle East Eye. Putri Maryam kini tengah menjalani perawatan di Rumah Sakit Anak al Rantisi. Sebagai keluarga pasien, Maryam tidak bisa menutupi kekhawatirannya terhadap krisis bahan bakar yang berdampak pada pasokan listrik di rumah sakit-rumah sakit Gaza.
“Anak saya harus menjalani dialisis. Paling tidak empat jam sehari mesin pencuci darah bekerja. Mesin itu memberi harapan hidup bagi putri saya. Adanya krisis bahan bakar ini membuat hidupnya dan 43 pasien dengan kasus yang sama dalam bahaya,” cerita Maryam pada akhir Januari lalu.
Krisis bahan bakar benar-benar masalah genting di Gaza, mengingat setiap pekan pasien luka-luka dari gerakan protes massa The Great March of Return terus bertambah. Pada pekan ke-45 Jumat (1/2) lalu, International Middle East Media Center melaporkan 98 warga sipili luka-luka di hari itu, terdiri dari 15 anak-anak, empat wanita, dua paramedis, dan seorang jurnalis. Mereka pun harus segara dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat penangan medis.
Menyadarai pasokan listrik di ujung kolaps, Kemenkes Gaza pun terus mencari donor bahan bakar. ACT sebagai lembaga kemanusiana global pun mengajak masyarakat Indonesia menjadi solusi atas krisis tersebut.
Sementara itu, bahan bakar bukan satu-satunya masalah di sektor kesehatan Gaza. Selain bahan bakar, Ashraf mengatakan, ambulans sebagai salah satu fasilitas kesehatan di Gaza juga banyak yang tidak layak. “Sebagian besar mengalami kerusakan parsial, sementara dua di antaranya hancur total. Semua ambulans itu menggunakan armada mobil tua, beberapa berusia 25 tahun,” jelasnya.
Sejumlah pasien juga tidak bisa dirawat karena rumah sakit telah kehabisan ruang dan kasur untuk perawatan. Asraf menyebut data, sejak dimulainya protes warga dalam The Great March of Return pada Maret hingga akhir 2018, setengah dari 26.000 korban cedera tidak bisa mendapat penanganan medis.
February 05, 2019 at 12:01AM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2DSvzag
via IFTTT
No comments:
Post a Comment