REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Konflik antara Muslim dan pemerintah di Kirgistan sudah berlangsung cukup lama. Sejak awal negara ini memerdekan diri dari rezim komunis Uni Soviet pada akhir 1991, agama memang tidak memainkan peran besar dalam kancah politik di negeri ini.
Kendati elemen-elemen masyarakat tradisional di Kirgistan mendesak agar nilai-nilai Islam yang merupakan warisan para leluhur mereka diadopsi dalam pembukaan konstitusi 1993. Namun, sebagai negara yang mengklaim diri berasaskan sekuler, mereka melarang percampuran nilai-nilai ideologi atau agama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Bahkan, pemerintah negeri itu kerap menuding kelompok-kelompok Islam berupaya menumbangkan pemerintahan. Dalam sebuah aksi unjuk rasa Oktober tahun lalu, kepolisian Kirgistan menangkap 100 warga Muslim. Oleh pengadilan mereka kemudian dinyatakan bersalah dengan tuduhan ekstremis Islam.
Selain konflik antara Muslim dan pemerintah, negara ini juga kerap dilanda konflik antaretnis. Seperti yang terjadi pertengahan tahun ini, perang antaretnis kembali pecah di wilayah Osh, kota terbesar kedua di bagian selatan Kirgistan.
Dalam insiden berdarah tersebut dilaporkan sekitar 102 orang dinyatakan tewas dan puluhan ribu warga terpaksa harus mengungsi. Seperti dikutip dari kantor berita Agence France Presse (AFP), terdapat 80 ribu orang etnis Uzbek mengungsi. Kebanyakan dari pengungsi adalah perempuan dan anak-anak.
Dalam insiden tersebut, Kota Osh berubah menjadi zona merah (daerah perang). Warga melakukan pembakaran dan perampokan. Konflik ini juga menyebabkan lebih dari 1.200 orang luka-luka. Konflik antaretnis ini memanas setelah Presiden Kirgistan, Kurmanbek Bakiyev, digulingkan April lalu, padahal mayoritas warga Kirgistan mendukung Bakiyev. Uzbekistan sendiri mendukung Presiden Kirgistan, sementara saat ini Roza Otunbayeva.
Jika melihat sejarah Kota Osh, maka akan ditemukan bahwa pada 1990 mereka telah masuk dalam sebuah konflik antara etnis Kirgiz dan Uzbeks. Dan kota itu merupakan basis pendukung oposisi Kirgistan sekarang dan pendukung pemerintah sebelumnya.
Pengaruh Rusia mulai menyusup ke dalam Kirgistan sejak 1918 hingga semua wilayahnya jatuh di bawah Pemerintahan Uni Soviet pada 1936. Pemerintah Uni Soviet turut menciptakan perubahan dalam budaya dan ekonomi Kirgistan. Ketika itu, rezim komunis telah mengubah tulisan Kirgistan yang terdiri dari huruf Arab menjadi huruf Rusia pada 1941.
Pada Agustus 1990 terjadi bentrokan pertama antara etnis Kirgiz dan Uzbeks di Kota Osh. Dan hal itu terus berlangsung selama dua bulan sampai terpilihnya Askar Akayev yang pro-Rusia pada Oktober di tahun yang sama. Akayev berkuasa hingga 2005, dan kemudian kabur ke Rusia setelah oposisi merontokkan kekuatan pemerintahannya. Akibatnya, konflik antara pendukung dan oposisi terus berlangsung dan menyebar di ibu kota Bishek.
Setelah itu, Kurmanbek Bakiyev yang pro-Amerika Serikat (AS) terpilih sebagai presiden Kirgistan sampai April 2010, sebelum digulingkan oleh oposisi yang memaksanya untuk melarikan diri dari ibu kota ke Kota Osh. Bakiyev diminta menandatangani perjanjian yang mengharuskannya keluar dari negara dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah interim yang dipimpin oleh Otunbayeva.
February 27, 2019 at 05:47PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2ECpwHn
via IFTTT
No comments:
Post a Comment