Pages

Thursday, April 18, 2019

Harga Cabai di Petani Kembali Anjlok

Harga jatuh serentak di sentra komoditas cabai di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi harga komoditas cabai di tingkat petani lokal anjlok. Meskipun petani menggenjot produksi demi mengamankan kebutuhan Ramadhan, akses pasar tidak disediakan dengan baik. Petani meminta pemerintah mengambil langkah cepat agar kerugian dapat diminimalisasi.

Ketua Umum Asosiasi Champion Cabai Indonesia, Tunov Mondro Atmodjo, menuturkan, harga komoditas cabai yang anjlok yakni untuk jenis cabai merah kriting dan cabai rawit merah yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.

Rata-rata harga untuk kedua jenis cabai itu anjlok hingga Rp 6.000 sampai Rp 7.000 per kilogram (kg) dari harga normal cabai sekitar Rp 15 ribu per kg.  “Ini sudah bulan Januari anjlok. November tahun lalu sempat stabil, Desember tinggi sampai Rp 30 ribu per kg, lalu Januari sampai sekarang maksimal hanya Rp 7 ribu per kg,” kata Tunov saat dihubungi Republika.co.id, dari Jakarta, Kamis (18/4).

Tunov memaparkan, harga normal cabai merah keriting dan cabai rawit merah berdasarkan modal dan rata-rata produktivitas per hektare. Menurut dia, saat ini rata-rata produktivitas cabai sekitar 5 ton per hektare.

Sementara, modal yang dikeluarkan untuk satu kali tanam di lahan seluas 1 hektare sekitar Rp 75 juta. Dengan kata lain, harga Rp 15 ribu per kg setidaknya baru dapat menutupi modal petani.

Menurutnya, jatuhnya harga kali ini terjadi serentak di kota/kabupaten Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menjadi sentra penanaman komoditas cabai. Khusus di Jawa Tengah, harga bahkan sempat menyentuh hingga Rp 3.000 per kilogram.

“Kita sudah ikuti kebijakan Kementerian Pertanian untuk mengatur pola tanam. Namun tidak dimbangi oleh kebijakan perdagangan. Saya khawatir kalau begini terus lama-lama petani tidak mau tanam,” ujarnya.

Tunov yang juga menjadi petani cabai di Magelang, Jawa Tengah, menuturkan, banyak petani yang pada akhirnya tidak memanen seluruhnya produksi cabai yang dihasilkan. Sebab, untuk memanen cabai diperlukan biaya untuk membayar buruh tani. Sementara, harga cabai yang rendah tidak sebanding dengan pengeluaran yang mesti dikeluarkan untuk membayar buruh.

Dampak dari dibiarkannya tanaman juga menimbulkan virus karena banyak cabai yang membusuk. Hal itu, kata Tunov, membahayakan untuk musim tanam selanjutkan karena dapat menjadi bibit penyakit tanaman.

Ia mengaku, berdasarkan laporan dari pasar induk seperti Pasar Kramat Jati, Jakarta, dari rata-rata penyerapan sehari sebanyak 20 ton, saat ini kurang dari 10 ton. Namun, pihaknya belum dapat menjelaskan penyabab utama penurunan permintaan cabai di pasar saat ini. Meski demikian, adanya penurnan permintaan menjadi masalah karena membuat adanya ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan.

Di sisi lain, untuk distribusi cabai ke luar pulau Jawa terhambat oleh tingginya biaya kargo pesawat yang saat ini mencapai Rp 30-40 ribu per kg. Tarif tersebut naik signifikan dari sebelumnya hanya sekitar Rp 5-10 ribu per kg.

“Cabai itu harus pakai pesawat. Tidak bisa jalur darat atau laut karena dia cepat busuk. Akibat ini cabai yang diproduksi petani itu tidak tersalurkan. Melimpah di daerah produsen,” ujar dia.

Asosiasi, kata dia, telah berulang kali menyampaikan kondisi di petani kepada Kementerian Perdagangan. Namun, belum ada respons yang konkret terkait langkah pemerintah untuk menangani anjloknya harga.

Tunov menegaskan, jatuhnya harga cabai di tingkat petani menjelang hingga pasca Ramadhan kerap terulang setiap tahun. Padahal, upaya peningkatan produksi ditujukan untuk memenuhi permintaan masyarakat agar tidak terjadi lonjakan harga di pasar tradisional.

“Pemerintah ketika harga di pasar tinggi ribut, ketika harga dipetani diam. Kita akan demo dalam waktu dekat kalau tidak ada perubahan,” katanya.

Let's block ads! (Why?)



April 18, 2019 at 02:12PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2V2ePXu
via IFTTT

No comments:

Post a Comment