REPUBLIKA.CO.ID, EL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan sedang mempertimbangkan untuk kembali mengokupasi Jalur Gaza. Hal tersebut dia ungkapkan dalam sebuah wawancara dengan KAN News pada Kamis (4/4) pagi.
"Semua opsi masih di atas meja, termasuk memasuki Gaza dan mendudukinya karena pertimbangan yang terbaik untuk Israel," ucapnya, dikutip laman Jerusalem Post.
Namun pendudukan kembali Gaza, kata Netanyahu, merupakan opsi terakhir dan bukan yang pertama. Menurut dia, terdapat opsi lain, yakni menyerahkan tanggung jawab atas Gaza kepada negara lain.
Terkait opsi tersebut, Netanyahu mengaku telah berbicara dengan banyak pemimpin negara Arab. Namun, mereka enggan mengambilalih Gaza.
"Tidak ada yang mau melakukan ini," ujarnya.
Selama 12 tahun memblokade Gaza, kebijakan Israel tak banyak berubah, yakni mengendalikan situasi. Dia tak mengomentari tentang kemungkinan berdamai dengan kelompok Hamas yang mengontrol wilayah tersebut.
"Anda tidak dapat membuat perjanjian diplomatik dengan seseorang yang ingin membunuh Anda," kata Netanyahu.
Situasi di perbatasan Gaza-Israel telah memanas dalam setahun terakhir. Hal itu dipicu oleh digelarnya aksi bertajuk "Great March of Return" pada Maret 2018. Dalam aksi tersebut, warga Palestina di Gaza berduyun-duyun melakukan demonstrasi di dekat pagar perbatasan Israel.
Mereka menuntut Israel mengembalikan lahan dan tanah yang didudukinya pasca Perang 1967 kepada para pengungsi Palestina. Kala itu warga Palestina juga menyuarakan protes atas keputusan Amerika Serikat (AS) memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem.
Namun Israel merespons aksi demonstrasi itu secara represif. Mereka menembaki para demonstran dengan peluru tajam. Sebanyak 189 warga Palestina tewas sepanjang aksi Great March of Return dilaksanakan. Sementara sekitar 6.016 lainnya mengalami luka ringan dan berat. PBB telah menyatakan bahwa tindakan Israel terhadap para demonstran Great March of Return merupakan kejahatan perang.
Sejak 2007, telah terjadi tiga kali pertempuran di Jalur Gaza. Peperangan paling mematikan meletus pada 2014. Saat itu gempuran militer Israel menyebabkan sekitar 1.800 warga Palestina di Gaza tewas dan lebih dari 10 ribu lainnya luka-luka.
April 04, 2019 at 02:42PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2UgxYFl
via IFTTT
No comments:
Post a Comment