REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan people power merupakan konsekuensi demokrasi, tidak melanggar konstitusi serta tidak boleh dihalang-halangi. "Tetapi syaratnya people power itu merupakan aksi damai, tanpa kekerasan dan tidak terjebak anarkisme," kata Din seusai Pengkajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI di Jakarta, Ahad (19/5).
Menurut Din yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, aparat keamanan seharusnya juga menghadapinya dengan sikap damai dan mengayomi.
Ia tidak setuju people power yang memaksakan kehendak dan berakhir chaos, karena hanya akan membuat sesama Muslim berhadapan. "Harga sosialnya terlalu mahal. Itu sikap saya. Saya pendukung perdamaian," katanya.
Ia juga menegaskan tidak setuju jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) didelegitimasi. Namum jika KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bekerja atas mandat konstitusi itu tidak menyelenggarakan pemilu dengan jujur, adil, transparan, dan akuntabel maka hasilnya cacat konstitusi.
Kecurangan dalam pemilu, ujar dia, harus diselesaikan dan diverifikasi. Kalau kecurangan tidak Tetapi kalau benar maka itu merupakan musibah dan tidak bisa dianggap remeh.
"Awalnya dikira ''human error'', tapi begitu akhirnya menumpuk, ini bukan kealpaan manusia lagi, ini harus diverifikasi," katanya.
Dalam kesempatan kajian itu, Din juga meminta umat Islam tidak ada lagi yang mendebat sila pertama Pancasila agar dikembalikan ke masa Piagam Jakarta yang berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
"Menurut saya sila pertama yang sekarang Ketuhanan
Yang Maha Esa lebih kuat dan luas maknanya, yakni tauhid. Agama yang paling dekat dengan Pancasila itu adalah Islam," katanya.
May 19, 2019 at 10:24PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Ek9HUU
via IFTTT
No comments:
Post a Comment