Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Mengikuti perjalanan pengamat sosial Fachri Ali melakukan kunjungan muhibabah keliling dunia memang menarik. Apalagi perjalanannya sangat panjang menyinggahi berbagai negara di berbagi benua.
Dua pekan lalu saya sempat bercakap melalui telepon bila dirinya tengah berada di Tokyo, Jepang. In terlihat ketika dia mengirimkan fotonya tengah berada di kuil Yuskuni, kuil yang atas perinah Kaisar ’negara matahari terbit’ itu dibangun untuk mengenang jasa para pahlawan Jepang pada perang dunia II.
Uniknya lagi, saat bercakap melalui telepon kami berdua sempat berdiskui soal seleuk beluk budaya kekuasaan. Saya ajak dia mengomentari budaya kekuasaan Jawa (pada zaman Mataram) yang kini terasa masih eksis. Fachry terkejut ketika saya ajak soal ‘ngomong’ tesis Ben Anderson, seorang Indonesianis, yang meneliti banyak soal langgam kekuasaan para raja Mataram di Jawa itu.
‘’Lha ini pas aku teringat Pak Ben Andeson, kok kamu tepat nelepon soal dia. Oh ya besok saya ke Negeria dari Jepang langsung, tanpa lewat Jakarta,’’ sahut dia sembari tertawa lebar. Di situ saya berpikir ‘Abangda’ Fachri tengah membanding-bandingkan dua budaya kekuasaan, yakni Indonesia (Jawa) dan Jepang.
Beberapa hari kemudian benar Fachry dia media sosial siap pergi ke Bandara. Lucunya, entah apa dia sempat ketinggalan pesawat yang akan ditumpanginya ke Baku (Nigeria). Maka kepergiannya itu pun sempat ditunda dua hari. Entah sebab apa ia tertunda kepergiannya. Jangan-jangan di ketiduran? ha ha ha
Dan benar, ketika sampai ke Baku dia kirim gambar bila sudah berada di bandara Nigeria. Ada foto bergambar bandara di Baku yang memaki model arsitektur bangunan lingkaran. Fahcri terlihat ceria. Dia menulis begini sembari berposes di sebuah sabana luas di Negeria. Dia mengutip sajak klasik Taufiq Ismail yang ketika melihat sabadana di Monggolia: Ketika melihat luas padang sabana saya teringat Umbu! Umbu Landu Paranggir, penyair asal NTT yang menjadi guru Emha Ainun Nadjib,red).
Dan terakhir saya terkejut ketika menerima postingannya pagi ini di media sosial yang berkabar dan menunjukn tengah berada di Inggirs. Tak hanya itu yang membuat saya semakin kaget gambar dia itu tengah berada di makam Karl Marx yang memang berada di negara itu.
Namun, kali ini Fachry menulis sebuah renungan yang bernas. Dia bercerita mengenai perasaan dan pikirannya soal sosok bapak ideologi Komunis itu. Sosok yang dipuja begitu banyak orang. Sosok yang melahirkan berbagai revolusi dan gejolak sosial, setidaknya dalam 150 ratus tahun terakhir.
Fachry menulis begini untuk mengenangkan soal Marx ketika masih bersekolah di Universitas Monash, Australia:
‘Which Marx,’ kata Ariel Heryanto (peneliti sosial yang kini tinggal di Singapura), yang tiba-tiba masuk dan membuat pembicaraan ahli politik Indonesia. Kala itu William Liddle dari Ohio State University yang tengah berbicara terhenti sejenak. Liddle menjadi pembicara informal dlm acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Monash University, Clayton, Melbourne —yg berlangsung di rumah Bu Tuti pada awal 1990-an.
Liddle yang menginap di rumah saya, dalam pembicaraan itu ‘mengeritik pandangan Marx. Inilah yg mendorong Ariel, yang sebelumnya hanya berada di luar, memberikan reaksi. Liddle terkejut dan dengan spontan seraya menyapa dan berkata: ‘Hai Ariel.’
Fachry kemudian melanjutkan tulisannya: Nah sore ini, 5 Juli 2019, saya terlambat datang mengunjungi makam Karl Marx di London. Dia dimakamkan dipusat kapitalisme dunia abad ke-18 dan 19 yakni kota London, Marx ternyata masih menyihir manusia di abad ke-21. Di depan kompleks pemakamannya, tertulis program tur ke kuburannya.
Maka, di sore hari yg cerah itu, saya hanya bisa berfoto di pintu gerbang makam yg telah tutup itu. Juga, saya kira, Marx tak perlu kiriman al-Fatihah dari saya. Juga dari siapapun!
July 06, 2019 at 07:30AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2XpocxC
via IFTTT
No comments:
Post a Comment