REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Seperti banyak anak laki-laki lain di usianya, Trevon Tyler bergabung dalam tim football di South Lyon East High School, Michigan, Amerika Serikat (AS). Namun, suatu insiden terjadi kepadanya saat 4 Oktober lalu.
Saat itu, Tyler yang sedang mengikuti pertandingan mengalami cedera lutut. Ia pun kemudian absen dari pertandingan di sisa musim ini, sesuatu yang sangat tidak diharapkan olehnya.
Kisah Tyler berakhir tragis. Remaja berusia 16 tahun itu meninggal setelah menjalani operasi lutut.
Dalam sebuah laporan yang dilansir Men's Health, Tyler menjalani operasi lutut setelah cedera yang terjadi. Tiga pekan kemudian, pelatih football di sekolahnya mengatakan bahwa anak didiknya itu harus kembali ke rumah sakit untuk membersihkan sesuatu.
Pada pekan lalu, Tyler diketahui ternyata memiliki gumpalan darah yang menyebabkan serangan jantung terjadi. Ia dinyatakan meninggal dunia pada 28 November lalu.
Hal yang terjadi pada Tyler tentu menjadi kekhawatiran bagi banyak orang yang harus menjalani operasi lutut karena cedera maupun masalah kesehatan lainnya. Menurut dokter ahli jantung Christopher Kelly dari North Carolina Heart and Vascular di Raleigh, resiko penggumpalan darah memang meningkat setelah operasi ortopedi dilakukan.
"Karena kaki harus diistirahatkan, tidak boleh bergerak, maka itu memicu terjadinya pengumpulan darah dan penggumpalan darah beku. Selain itu, sistem pembekuan tubuh menjadi aktif sebagai respons terhadap tekanan operasi,” jelas Kelly.
Gumpalan darah beku yang terbentuk di kaki, menurut Kelly, bisa saja menjalar ke paru. Akibatnya fatal.
Meski demikian, Kelly menempatkan resiko itu dalam perspektif, yaitu orang yang menjalani operasi penggantian pinggul atau lutut secara total berada pada resiko tertinggi. Tetapi, biasanya obat pengencer darah diberikan untuk pencegahan terjadinya blood clot.
Untuk operasi lain, menurut Kelly, pengencer darah digunakan tergantung pada resiko pasien. Bagi orang dalam keadaan sehat, termasuk anak-anak muda, resiko pembekuan darah setelah operasi pinggul atau lutut sangatlah rendah.
"Risikonya bahkan kurang dari setengah persen,” jelas Kelly.
Risiko dapat meningkat ketika ada sejumlah faktor lain, seperti obesitas, infeksi, hingga riwayat keturunan, serta kondisi medis lainnya. Kelly mengatakan, tampaknya Tyler mengalami komplikasi yang sangat jarang terjadi serta infeksi yang menyebabkan ia sempat kembali ke rumah sakit pascaoperasi.
“Sepertinya siswa ini memiliki komplikasi yang sangat jarang, namun sangat berbahaya dan bisa dipahami mengapa banyak orang jadi bingung,” kata Kelly.
Semua prosedur medis pasti memiliki risiko, termasuk komplikasi yang paling langka dan bisa terjadi. Kelly pun menyarankan agar pasien yang membutuhkan operasi ortopedi menanyakan kepada dokter tentang risiko pembekuan darah berikut cara menguranginya.
Kelly menyerukan agar orang tidak menghindari operasi yang memang diperlukan untuk menyembuhkan bagian tubuh yang cedera. Jika risiko tidak terlalu tinggi dan pemeriksaan dengan tepat dilakukan, kemungkinan terjadinya kompilkasi maupun sesuatu yang berbahaya lainnya akan menjadi sangat kecil.
December 06, 2019 at 07:50AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2YnfZvV
via IFTTT
No comments:
Post a Comment