REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- DIY bagian utara, khususnya di kaki-kaki Gunung Merapi yang ada di Kabupaten Sleman, dinilai perlu peresapan buatan. Pengelolaan peresapan dilakukan untuk meningkatkan cadangan air bersih.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Suhadi Purwantara mengatakan, langkah itu perlu dilakukan mengingat laju penurunan permukaan air tanah di Yogyakarta terus terjadi, Utamanya, di Kabupaten Sleman.
Ia melihat, tiap tahun, muka air tanah di Kabupaten Sleman mengalami penurunan sebesar 15-30 centimeter. Kondisi itu disebabkan tingginya pemakaian air masyarakat, dan daerah resapan air semakin berkurang.
"Semakin luasnya pertumbuhan permukiman mengakibatkan semakin berkurangnya ruang peresapan air hujan," kata Suhadi, di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Suhadi telah pula melakukan penelitian di Sleman, khususnya dataran kaki lereng Gunung Merapi sisi selatan. Ia menyebutkan, telah terjadi pemekaran permukiman atau kawasan terbangun di daerah tersebut.
Sedangkan, di daerah perkotaan, daerah yang terbentang di dekat jalan lingkar utara telah jadi lahan relatif padat. Lahan yang memiliki potensi menjadi kawasan resapan banyak tertutup bangunan yang tidak menyerap air hujan.
Kawasan ini jadi penyumbang lintasan air hujan semakin bear. Kecenderungan percepatan perluasan lahan terbangun seperti yang terjadi saat ini, 10 tahun mendatang diprediksi ada perluasan lahan terbangun hingga ratusan hektare.
"Hal ini akan berakibat kepada ruang peresapan air hujan yang menyebabkan berkurangnya cadangan air tanah, selain itu bertambahnya aliran air ke sungai menyebabkan seringnya terjadi banjir," ujar Suhadi.
Kawasan dengan lahan terbangun relatif padat seperti di sekitar jalur lingkar (Ring Road) utara, Jalan Magelang, sekitar kampus Universitas Islam Indonesia (UII), kedalaman muka air tanahnya semakin turun.
Padahal, kawasan padat penduduk itu sangat berpotensi menjadi daerah resapan. Karenanya, Suhadi menekankan, perlu pengelolaan khusus peresapan buatan di kawasan suburban yang berada dekat dengan Kota Yogyakarta.
"Pada kawasan itu, kedalaman air tanah sangat dalam dan laju peresapan sangat tinggi, sehingga patut dibangun sumur resapan buatan," kata Suhadi.
Ia mengusulkan alternatif di kawasan terbangun seluas 28,3 kilometer itu, diperlukan sumur resapan sebanyak 361.473 kilometer persegi. Namun, perhitungan itu tidak mencakup kawasan yang kurang potensial atau muka air tanah dangkal.
Pakar hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Maryono merasa, selama ini masyarakat Kota Yogyakarta tidak cukup adil. Contohnya, pembangunan komplek, yang ada selalu membuat drainase sebaik-baikya dengan tujuan airnya ke luar.
"Akhirnya, yang banjir tidak di Kota (Yogyakarta), yang banjir di (Kabupaten) Bantul," ujar Agus.
Hal itu terjadi pula dalam pengelolaan sampah, yang selalu dibuang ke luar Kota Yogyakarta. Produksi oksigen dibuat pula semakin rendah, yang membuat mereka bisa dibilang impor oksigen dari Kabupaten Sleman.
Pengelolaan limbah, sering kali hanya dibuang ke sungai dan mengalirkannya saja ke daerah-daerah selatan. Karenanya, ia merasa, masyarakat Kota Yogyakarta itu sudah melemparkan keburukan kepada masyarakat luar Kota Yogyakarta.
Untuk itu, masyarakat Kota Yogyakarta harus disadarkan kamu itu dulu daerah aliran sungai, yang oksigennya harus produksi sendiri. Sehingga, setiap masyarakat Kota harus menanam pohon bagaimanapun caranya.
Itu dilakukan demi membuat setiap masyarakat kota mampu menjalankan fungsi memanen air hujan. Sebab, jika tidak seperti itu, saat ada aliran air besar tiba banjir tidak akan terelakkan tanpa ada yang bisa menangkap air tersebut.
Kesadaran filosofis seperti itu yang dirasa harus ditumbuhkan lagi kepada masyarakat Kota Yogyakarta. Artinya, walaupun mereka berada di kota, mereka harus sadar daerah itu memiliki fungsi menampung air.
"Ini harus didorong terus, didanai yang banyak, sehingga seluruh sungai baik kecil, besar dan menengah itu bersih, tidak ada sedimen, tidak ada pembendungan di jembatan-jembatan dan aliran air lancar," kata Agus.
Selain itu, drainase-drainase harus diubah dari yang konvensional membuang air menjadi ramah lingkungan yaitu menampung dan meresapkan. Tiap rumah harus punya tabungan air dan semacam sumur resapan air.
Mewujudkan itu perlu usaha semua elemen. Selain masyarakat dan Pemprov DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta harus ada kegiatan-kegiatan yang mengembalikan fungsi kota untuk dapat memanen air.
Hari ini, ia melihat, drainase-drainase ramah lingkungan yang belum terlalu banyak diterapkan. Reboisasi juga masih perlu dilakukan baik di hulu, tengah sampai hilir demi bisa menghasilkan oksigen yang lebih baik.
Khusus untuk DIY, ia berpendapat, masyarakat perguruan tinggi sebenarnya bisa memberikan andil lebih atas itu. Terlebih, ada begitu banyak perguruan tinggi yang hingga kini berdiri di DIY.
Menurut Agus, andai semua rektor perguruan tinggi sepakat, bisa ada 309.000 mahasiswa yang bisa diberdayakan untuk menanam pohon. Salah satunya bisa diwujudkan lewat kewajiban menanam satu pohon bagi setiap mahasiswa masuk.
January 31, 2019 at 03:27PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Uv5jIp
via IFTTT
No comments:
Post a Comment