REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Kasus perceraian di Kabupaten Indramayu masih tinggi. Dari kasus tersebut, pengajuan perceraian lebih banyak dilakukan oleh pihak istri (perempuan).
Berdasarkan data di Pengadilan agama (PA) Kabupaten Indramayu, kasus perceraian yang diajukan pasangan suami istri (pasutri) sepanjang 2018 di Kabupaten Indramayu tercatat ada 8.681 kasus. Dari jumlah itu, perceraian yang diputus oleh majelis hakim sebanyak 7.776 kasus.
Dengan jumlah 7.776 kasus perceraian sepanjang 2018, jika dirata-ratakan dengan jumlah hari dalam setahun, maka berarti ada 21 janda dan duda baru per hari di Kabupaten Indramayu.
‘’Dari kasus perceraian itu, cerai gugat (yang diajukan istri) yang lebih banyak dibandingkan cerai talak (yang diajukan suami),’’ ujar Humas PA Kabupaten Indramayu, Wahid Afani, Kamis (31/1).
Wahid menyebutkan, dari 8.681 perceraian yang diajukan ke PA Kabupaten Indramayu, sebanyak 6.106 kasus di antaranya merupakan cerai gugat dan 2.575 kasus cerai talak. Sedangkan dari 7.776 kasus perceraian yang diputus majelis hakim, sebanyak 5.451 kasus merupakan cerai gugat dan 2.325 kasus cerai talak.
Wahid menjelaskan, banyaknya perempuan yang mengajukan cerai gugat di antaranya karena suaminya tidak bertanggung jawab. Selain itu, adapula karena alasan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Tak hanya itu, adapula cerai gugat yang dilatarbelakangi sikap suami yang tidak menghargai jerih payah istrinya yang menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Suami tersebut menghabiskan uang kiriman dari istrinya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
‘’Akhirnya saat istrinya pulang, langsung mengajukan cerai,’’ tutur Wahid.
Wahid menyatakan, penyebab terbanyak terjadinya perceraian di Kabupaten Indramayu memang karena faktor ekonomi. Dari 7.776 kasus perceraian yang diputus, sebanyak 6.914 kasus perceraian disebabkan karena alasan ekonomi. Sedangkan alasan lainnya di antaranya pertengkaran yang terus menerus, kawin paksa dan terjadinya pernikahan lagi tanpa persetujuan pasangan (nikah lagi).
Wahid mengaku prihatin dengan tingginya kasus perceraian tersebut. Dia menilai, masih ada di antara warga yang menganggap ikatan pernikahan sebagai hal yang sederhana hingga mereka mudah mengajukan gugatan cerai ketika ada masalah.
Wahid menyatakan, pihaknya sudah berusaha melakukan mediasi kepada pasangan yang mengajukan gugatan cerai. Namun, mediasi itu hanya bisa dilakukan jika kedua belah pihak hadir di persidangan.
‘’Kenyataannya, 90 persen pengajuan perceraian hanya dihadiri oleh salah satu pihak saja,’’ tutur Wahid.
Terpisah, salah seorang warga yang enggan disebut namanya, mengaku terpaksa mengajukan gugatan cerai kepada suaminya. Pasalnya, dia menilai suaminya tidak bertanggung jawab secara ekonomi.
‘’Saya kerja dua tahun di luar negeri. Ternyata uang yang saya kirimkan malah habis, gak jadi apa-apa,’’ kata perempuan yang belum lama ini baru pulang dari Singapura itu.
February 01, 2019 at 02:30AM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2CXmdZ0
via IFTTT
No comments:
Post a Comment