Pages

Tuesday, February 12, 2019

Desa Wisata Bisa Jadi Alternatif Sektor Pariwisata NTB

Wisatawan saat ini mencari destinasi wisata yang ramah digital dan instagramable.

REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Dampak bencana gempa di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun lalu masih terasa hingga kini. Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara menjadi dua wilayah dengan dampak terparah akibat gempa.

Pembina Yayasan Sinergi Indonesia yang bergerak di bidang pemberdayaan pemuda dan pendidikan di NTB, Lalu Nofian Hadi, mengatakan selain kerusakan rumah dan korban jiwa, kondisi ekonomi masyarakat juga terpengaruh.

Nofian menyebutkan, sektor pariwisata dan pertanian, menjadi dua sektor dengan dampak terparah. Nofian mengatakan, angka kunjungan wisatawan yang anjlok dalam beberapa bulan terakhir membuat kondisi ekonomi masyarakat terdampak.

"Lombok Utara dan Lombok Barat, yang memiliki cukup banyak destinasi wisata juga sempat terdampak. Meski saat ini sudah pulih dan berbenah, namun tingkat kunjungan wisata masih lesu di dua daerah ini," ujar Nofian di Lombok Barat, NTB, Selasa (12/1).

Nofian melanjutkan, dampak bencana yang belum benar-benar pulih, kini ditambah lagi dengan persoalan tingginya harga tiket pesawat dan penerapan bagasi berbayar. Nofian tidak menampik jika pemerintah sudah berjuang keras untuk memulihkan kondisi sektor pariwisata. Meski begitu, Nofian menilai masih perlu banyak upaya yang harus dilakukan untuk menggairahkan kembali sektor pariwisata, salah satunya dengan mengembangkan potensi desa wisata di Lombok Utara dan Lombok Barat.

"Konsep desa wisata ini saya pikir mampu mendorong pariwisata NTB kembali bangkit sekaligus memperkuat peningkatan perekonomian masyarakat melalui UMKM," kata Nofian.

Nofian mengambil contoh desa wisata di Sesaot, Lombok Barat, yang kini terus berkembang dan mampu menjadi magnet wisata tersendiri bagi wisatawan lokal. Pun dengan Desa Kerujuk di Lombok Utara yang memiliki potensi untuk menjadi destinasi swafoto dan fotografi. Nofian memandang, konsep seperti itu menarik, terlebih saat ini tren wisatawan sudah mulai bergeser mencari destinasi wisata yang ramah digital dan instagramable.

"Di Yogyakarta dan Bandung misalnya, itu untuk sekadar selfie di tempat yang dikembangkan di sana, wisatawan rela menghabiskan biaya dan waktu menempuh perjalanan ke destinasi. Di Lombok potensi ini belum maksimal tergali," ucap Nofian.

Nofian mengatakan, saat ini dirinya dan sejumlah relawan terus aktif mendorong masyarakat sadar wisata untuk mulai menggagas desa wisata baru di Lombok Utara dan Lombok Barat. Menurut Nofian, konsep desa wisata harus menyediakan akomodasi, atraksi, dan alam yang terintegrasi.

"Untuk akomodasi, rumah penduduk bisa disulap menjadi semacam homestay. Misalnya punya empat kamar, satu kamar bisa direnovasi dan dilengkapi khusus untuk wisatawan yang ingin menginap," lanjut Nofian.

Selain itu, kata Nofian, keberadaan artshop desa juga harus menjadi etalase kerajinan maupun produk unggulan di desa wisata tersebut. Hal ini bisa didukung juga dengan keberadaan sanggar seni dan budaya yang menampilkan atraksi seni budaya penduduk setempat.

"Dengan pola terintergasi ini, multiplier effect ekonomi dapat dirasakan penduduk di desa wisata, baik dari homestay yang disediakan meliputi produk jajanan, kuliner dan kerajinan, juga dari sisi pertunjukan seni dan budaya," ungkap Nofian.

Nofian menilai kondisi wisata yang masih lesu saat ini bukan berarti harus patah arang. Nofian meyakini apabila model desa wisata dikembangkan, bisa menjadi harapan baru untuk pemulihan sektor pariwisata NTB.

"Yang terpenting harus berani memulai. Desa wisata ini saya yakin akan menjadi pariwisata berkesinambungan di Lombok dan NTB," kata Nofian mendambakan.

Let's block ads! (Why?)



February 12, 2019 at 02:38PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2TKuRBj
via IFTTT

No comments:

Post a Comment