IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi VIII sudah memutuskan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji sama dengan biaya tahun 2018. BPIH tahun ini sudah disepakati sebar Rp 35.2 juta saat rapat, Senin (4/1) kemarin.
Ketua Umum Rabithah Haji Indonesia Ade Marufudin meminta Kemenag dan DPR di Komisi VIII menyampaikan berapa sebenarnya biaya haji tahun ini yang harus dibayarkan calhaj tanpa subsidi yang diambil dari dana optimalisasi haji. “Bagi saya bukan naik, turun atau tetapnya biaya haji tahun ini. Justru yang terpenting adalah transparansi yang perlu dijelaskan kepada masyarakat dan jamaah,” katanya saat berbincang dengan Republika.co.id, Selasa (5/2).
Ade mengatakan, jangan sampai masyarakat yang menjadi calon jamaah haji (calhaj) tidak mengetahui bahwa biaya haji itu sebenarnya jumlahnya bukan sebesar Rp 35,2 juta, seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah. “Jangan sampai jamaah berpatokan bahwa yang dibayarkan itu adalah riil nya Rp 35,2 juta, tapi sesungguhnya biaya haji itu hampir Rp 57 juta sampai Rp 62 juta per jamaah. Itu jamaah harus tahu darimana dananya,” katanya.
Untuk itu, Ade menyarankan, pemerintah melalui Kemenag dan DPR harus menyampaikan kepada calhaj, bahwa Rp 35,2 itu bukan biaya haji yang sebenarnya. Karena biaya haji sebenarnya antara Rp 57 juta sampai Rp 62 juta.
Biaya sebesar Rp 35,2 juta itu sudah disubsidi oleh uang caljah yang masih menunggu antrean diberangkatkan. Dan uang calhaj itu kini dikelola oleh Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH).
“Kalau sampai Rp 27 juta per jamaah disubsidi berarti nilinya hampir Rp 62 juta per jamaah. Jadi riil nya itu Rp 62 juta juta per jamaah bukan Rp 32 juta. Jadi selisih inilah yang perlu diberikan pemahaman kepada jamaah, bahwa anda itu diberangkatkan menggunakan dana optimalisasi. Dana siapa.? Ya dana anda yang selama ini mengendap. Lalu dana siapa lagi? dana jamaah haji yang belum berangkat sekitar 3 juta orang, artinya dana akumulasi itulah yang akan dimanfaatkan dan inilah perlu transparansi kepada masyarakat,” urai Ade.
Menurut Ade, yang perlu dipertanyakan oleh semua pihak dalam penetapan BPIH bukan masalah realistis atau tidaknya BPIH. Akan tetapi yang terpenting adalah keterbukaan dari para penyelenggara pemerintah dalam menetapkan BPIH yang sebenarnya. Ade mengatakan, keterbukaan penting dalam menetapkan BPIH demi mendapat kerelaan dari setiap cahjal, terutama cahlah yang masih menunggu bertahan-tahun diberangkatakan.
Berita Terkait
“Keterbukaan di sini supaya ada kerelaan ongkos haji itu harus bersih. Bersihnya bagaiman? Yang dikeluarkan Rp 35,2 juta itu bersih atau tidak, itu pasti bersih dari jamaahnya, tapi ada komponen tambahan Rp 27 juta ini yang menjadi percampuran dana orang yang belum berangkat. Ridho enggak orang yang belum belum berangkat dananya dipakai,” katanya.
Karena selama ini menurut Ade, pemerintah memberikan subsidi kepada jamaah haji untuk keberangkatan tahun 2019 ini, selalu menggunakan dana haji secara keseluruhan. Menurutnya sistem seperti itulah yang mesti segera ditinggalkan, karena dapat merugikan jamaah yang mendapat anterian berangkat urutan terakhir.
"Karena subsi yang diterima jamaah yang menunggu anterian 10 tahun dengan yang menungu anterian 20 sampai 30 tahu sama nilainya," katanya.
February 05, 2019 at 05:02PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2UF7yJd
via IFTTT
No comments:
Post a Comment