REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belanda bermain licik dengan mengadu domba elemen-elemen istana Banten. Abdul Qahar alias Sultan Haji diagitasi untuk melawan ayah kandungnya sendiri, Sultan Ageng. Semua demi merebut kekuasaan.
Dalam perang saudara ini, Belanda membantu Sultan Haji. Hal itu digambarkan Prof Titik Pudjiastuti dalam buku Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten.
Salah satu arsip koleksi yang ditelitinya menunjukkan konsep perjanjian antara Sultan Haji dan pihak Kompeni. Dokumen itu ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa pada naskah kertas Eropa.
Isinya menyebutkan, Sultan Haji meminta bantuan senjata dan tenaga kepada Belanda demi memerangi ayahnya sendiri kira-kira pada 1682.
Syekh Yusuf al-Makassari tentu berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan, ulama itu tampil berani di tengah medan pertempuran.
Sayangnya, pada 14 Desember 1683 kubu Sultan Ageng terdesak. Syekh Yusuf yang kala itu berusia 57 tahun ditangkap pasukan Belanda. Satu tahun lamanya dia disekap di penjara bawah tanah di Batavia (Jakarta).
Pada September 1684, dia bersama dengan kedua istrinya, beberapa anak dan belasan muridnya diasingkan ke Sri Lanka. Pengasingan yang jauh itu tak bisa lama-lama. Ceylon alias Sri Lanka sering disinggahi calon jamaah haji asal Nusantara sebelum sampai ke Arab.
Saat ditahan di pulau tersebut, Syekh Yusuf sering mengadakan kontak dengan kaum Muslimin Nusantara yang hendak menunaikan haji atau dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci.
Belanda menyadari hal itu sebagai sangat berbahaya. Orang-orang Muslim dikhawatirkannya dapat memeroleh inspirasi atau bahkan strategi jitu untuk memperkuat perlawanan di Nusantara. Demikianlah penyakit haji-fobia di kalangan kolonial.
Bertahun-tahun kemudian, penguasa yang mengidap fobia “haji fanatik” itu memberlakukan Ordonansi Haji pada 1859. Orang Pribumi pun kesulitan bila hendak menunaikan Rukun Islam kelima.
Dengan beleid itu, mereka yang pernah ke Masjidil Haram harus melalui pendataan pemerintah kolonial. Bahkan, gelar “haji” pun akhirnya diberikan oleh Belanda—sebagai kamuflase belaka untuk memudahkan aktivitas spionase.
Barulah pada era Snouck Hurgronje (1857-1936), haji-fobia diterjemahkan ke dalam aturan-aturan yang lebih longgar. Orientalis yang pernah tinggal di Makkah itu meyakini, di antara jamaah asal Nusantara, hanya sedikit yang menuntut ilmu di Tanah Suci. Mereka yang demikian itu tidak langsung pulang seusai berhaji.
Karenanya, penulis karangan “Het Mekkansche Feest” tersebut menganjurkan supaya pemerintah kolonial berfokus bukan pada seluruh jamaah, melainkan lapisan kecilnya.
Kembali ke riwayat Syekh Yusuf. Ulama Makassar yang telah menginjak usia 68 tahun ini akhirnya dipindahkan dari Ceylon (Sri Lanka) ke Cape Town (Afrika Selatan/Afsel).
February 18, 2019 at 04:00PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Ehomkc
via IFTTT
No comments:
Post a Comment