REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan, salah satu poin prioritas dalam mempertimbangkan ibu kota baru adalah risiko bencana. Sumatera bagian Timur, Kalimantan dan Sulawesi Selatan disebutnya sebagai daerah yang memenuhi kriteria tersebut apabila dilihat dari peta kebencanaan.
Selain itu, Bambang menyebutkan, lokasi ibu kota baru juga harus memiliki lokasi strategis. Artinya, secara geografis, berada di tengah wilayah Indonesia. "Di daerah itu juga tersedia lahan luas milik pemerintah atau BUMN Perkebunan untuk mengurangi biaya investasi," ujarnya saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (30/4).
Daerah yang dituju juga sebaiknya memiliki sumber daya air cukup dan bebas pencemaran lingkungan. Di sisi lain, dekat dengan kota eksisting yang sudah berkembang. Tujuannya, agar terjadi efisiensi investasi awal infrastruktur.
Bambang menjelaskan, ada beberapa infrastruktur yang harus diperhatikan. Di antaranya ketersediaan akses mobilitas atau logistik seperti bandara, pelabuhan dan jalan.
Dari segi sosial, Bambang menjelaskan, lokasi yang dituju sebagai ibu kota baru harus memiliki potensi konflik sosial rendah. Selain itu, memiliki budaya terbuka terhadap pendatang. "Juga, memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan," ucapnya.
Rencana pemindahan ibu kota disampaikan berdasar enam pertimbangan. Salah satunya, mengurangi beban Jakarta dan daerah sekitarnya seperti Bogor, Tangerang dan Bekasi.
Kini, Jakarta berfungsi tidak hanya sebagai pusat pemerintah juga pusat ekonomi nasional. Karena kepadatan, daya dukung lingkungan yang menurun seperti sering terjadinya banjir, penurunan muka air tanah, kemacetan, kekurangan air bersih dan keterbatasan lahan menyebabkan fungsi Ibukota mulai menurun dan tidak efisien. Jumlah kerugian akibat kemacetan dan tidak efisiennya penggunaan bahan bakar saja dapat mencapai Rp 65 triliun di tahun 2017.
Pertimbangan berikutnya adalah mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur. Menurut data Badan Pusat Statistik, di tahun 2017, wilayah Jabodetabek berkontribusi sebesar 20,85 persen dan pulau Jawa berkontribusi sebesar 58,49 persen dari PDB nasional.
Sementara itu, jumlah penduduk Jakarta di tahun 2016 adalah sekitar empat persen dari penduduk Indonesia dan proporsi penduduk Jabodetabek adalah sebesar 10 persen. Penduduk Pulau Jawa sendiri saat ini adalah sebesar 150 juta atau sekitar 57 persen dari total penduduk Indonesia.
Pertimbangan lainnya, mengubah pola pikir pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris. Selain itu, keinginan untuk memiliki ibukota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebhinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila.
Di sisi lain, Bambang menjelaskan, dibutuhkan peningkatan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif. Terakhir, kebutuhan memiliki ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city. "Tujuannya, meningkatkan competitiveness secara regional maupun internasional," ujarnya.
Dalam kajian Bappenas, pemindahan ibu kota pemerintahan ini akan membutuhkan biaya sekitar Rp 466 triliun. Pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya dibebankan pada pemerintah melalui APBN, melainkan melibatkan partisipasi pihak ketiga. Pembagiannya, Rp 250 triliun dari pemerintah dan sisanya dari swasta.
Isu pemindahan ibu kota kembali muncul ketika Presiden Joko Widodo membahasnya dalam Rapat Terbatas Kabinet pada Senin (29/4). Dalam rapat tersebut, Jokowi telah memutuskan untuk memilih alternatif memindahkan ibu kota ke luar Jawa dan harus berada di tengah Indonesia.
April 30, 2019 at 05:34PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2J6baBF
via IFTTT
No comments:
Post a Comment