REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai aktivis mahasiswa, Fajar Suganda akhirnya mengalah. Ia menuruti nasihat ibunya. Berangkat kembali ke kota dimana Fajar kuliah untuk melanjutkan perjuangan menurunkan rezim represif Soeharto dengan menyuarakan Golput (Golongan Putih).
Peristiwa intimidasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di awal tahun 1997 menjelang Pemilu terakhir Orde Baru telah menorehkan luka yang tak terlupakan. Fajar dibenturkan dengan sesama pemuda di desanya sebagai strategi ABRI saat itu untuk menangkapnya.
Demikian simpulan film pendek fiksi ABRI Masuk Desa (AMD) produksi Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB), dan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga yang diputar perdana pada Sabtu malam, 30 Maret 2019 di panggung luar GOR Mahesa Jenar Purbalingga.
Dalam siaran persnya yang diterima Republika.co.id, Senin (1/4) disebutkan, pemutaran perdana ini merupakan program pemutaran bulanan CLC Purbalingga Bioskop Rakyat sekaligus dalam rangka Hari Film Nasional (HFN) ke-69 yang jatuh tepat pada 30 Maret. Hari bersamaan, film berdurasi 13 menit ini juga diputar di ruang Fikom Universitas Teknologi Sumbawa (UTS), Nusa Tenggara (NTB) Barat kerjasama Sumbawa Cinema Society (SCS).
Usai pemutaran film berbahasa Jawa Banyumasan ini dilanjutkan sesi diskusi. Bowo Leksono, selaku sutradara dan penulis skenario mengatakan, film AMD didasarkan dari kisah yang pernah ia alami. “Politik represif Soeharto saat itu tidak hanya terjadi di kota-kota dengan basis intelektual, namun hingga ke pelosok desa,” ujar direktur CLC Purbalingga.
Salah satu penonton, Hasdian Kharisma Priani, merasa mendapatkan gambaran yang cukup bagaimana kondisi perpolitikan saat itu. “Saya lahir setahun setelah Soeharto lengser, lewat film ini saya dapat merasakan bagaimana saat itu orang dibatasi untuk berpendapat,” ujar mahasiswi jurusan teater Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta asal Purwokerto.
Sementara narasumber lain, Andi Prasetyo, yang juga aktivis ’98 menilai film AMD membuka fakta sejarah Orde Baru kepada anak-anak muda sekarang. “Bahwa kondisi demokrasi sekarang lebih baik, orang bebas berbicara lewat media sosial namun harus tetap dapat dipertanggungjawabkan,” tutur pengajar Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Purbalingga.
Sebelum pemutaran dan diskusi, ditampilkan musik akustik yang membawakan lagu “Kebenaran Akan Terus Hidup” dari Fajar Merah (putra Wiji Thukul) dan lagu wajib demonstran ’98 “Darah Juang” ciptaan Jhon Tobing. Beberapa puisi dibacakan seperti “Peringatan” karya Wiji Thukul, “Paman Doblang” dan “Sajak Sebatang Lisong” karya Rendra.
Selain itu, pentas monolog berjudul “Menjelang Pesta Kebun” oleh Karyo Gunawan, mahasiswa jurusan teater ISI Surakarta asal Purbalingga. Tak lupa, peristiwa budaya itu juga dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk sosialisasi.
Dengan suguhan kopi gratis persembahan Bela-Beli Purbalingga, semakin menghangatkan ratusan penonton yang didominasi pemilih pemula dalam merakayan Hari Film Nasional ke-69 di Purbalingga.
April 01, 2019 at 02:33PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2V5mlxj
via IFTTT
No comments:
Post a Comment