REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA — Seorang perempuan asal Kano, kota di wilayah utara Nigeria bernama Khadijah Adamu pernah menceritakan tentang kasus penyiksaan fisik yang mengerikan melalui akun jejaring sosial Twitter miliknya pada 3 Februari lalu. Saat itu, ia menjelaskan secara rinci bagaimana ia hampir terbunuh oleh mantan kekasihnya.
“Itu adalah sebuah beban yang saya simpan selama dua tahun. Membicarakan hal ini kepada orang lain, hingga berdoa tak membuat keadaan lebih baik,” ujar Adamu kepada Aljazirah, Senin (1/4).
Setelah cerita yang Adamu bagikan, seorang pengusaha di Ibu Kota Abuja, Fakhriyyah Hashim memberi respon melalui akun Twitter miliknya. Ia berempati dan memberi balasan dengan tagar #ArewaMeToo.
Arewa secara umum adalah istilah yang digunakan di utara Nigeria, di mana menjadi salah satu wilayah dengan penduduk mayoritas Muslim dan masyarakat konservatif. Di sana, masalah mengenai seksualitas sangat jarang untuk dibahas di depan umum.
Hanya beberapa saat setelah balasan Hashim muncul di Twitter, sejumlah warga di utara Nigeria turut bercerita mengenai hal-hal yang mereka alami terkait pelecehan hingga pemerkosaan. Beberapa cicitan yang dibagikan bahkan menyebutkan nama-nama dari tersangka kejahatan tersebut.
Sebelumnya, gerakan global #MeToo telah populer, dimulai pada akhir 2017. Pendiri gerakan itu memiliki tujuan untuk menghilangkan hambatan budaya, ekonomi, sosial, hingga kelembagaan yang dianggap menghalagi berbagai pelecehan, termasuk seksual dapat tertangani dengan baik.
Hal itulah yang yang menginspirasi Hashim untuk turut mendirikan gerakan serupa #ArewaMeToo. Ia mengatakan bahwa gerakan itu tidak berbicara mengenai seks, karena mereka memiliki persepsi sebagai masyarakat yang jujur secara moral.
"Kami ingin marah, tetapi kami tidak ingin menunjukkannya. Kami tidak ingin menghasilkan resolusi obyektif tentang cara mendekati banyak masalah ini,” ujar Hashim.
Gerakan #ArewaMeToo telah siap untuk dimulai. Namun, rencana-rencana untuk menyuarakan gerakan itu masih dipersiapkan lebih lanjut, agar mereka yang mengikutinya dapat lebih terkoordinasi.
Terdapat tiga pria dan tujuh perempuan yang menjadi pimpinan tim #ArewaMeToo, termasuk di antaranya Hashim dan Adamu. Sejumlah anggota juga aktif di beberapa kota di utara Nigeria, mulai dari Kano, Maiduguri, Niger, Sokoto, dan Zamfara.
Sejauh ini, lebih dari 100 pesan dibagikan oleh banyak orang, baik perempuan maupun laki-laki. Mereka membagikan apa saja yang telah dialami.
“Anda harus terbuka dengan mereka dan juga mengatakan ada konsekuensi hukum jika membagikan informasi yang salah,” ujar salah satu pengacara tim Khadijah Awwal.
Setelah menerima laporan-laporan dalam bentuk pesan tersebut, tim gerakan #ArewaMeToo meminta bukti-bukti lengkap. Seperti halnya rekaman percakapan, foto-foto, dan laporan medis. Identitas mereka juga terkadang perlu diverifikasi secara langsung.
Setelah keaslian laporan korban terbukti, gerakan itu bekerja sama dengan LSM yang menawarkan dukungan psikososial dan bantuan hukum. Dalam perjalanannya, #ArewaMeToo mendapat berbagai kendala.
Seperti Maryam Awaisu, salah satu pemimpin gerakan yang ditangkap oleh polisi dan Pasukan Khusus Anti-Perampokan (SARS) Nigeria. Hal itu terjadi setelah seorang pria yang namanya disebutkan sebagai tersangka yang melakukan penyiksaan terhadap beberapa perempuan melaporkan hal itu dan menuntut atas pencemaran nama baik.
Polisi diketahui mencoba mengakses ponsel dan laptop Awaisu. Bahkan, ia dibawa ke kota lain untuk menjalani interogasi.
Atas penangkapan itu, rekan-rekan Awaisu mencoba menyuarakan kecaman. Saat itu, Amnesty Internasional juga menyatakan kecaman dan meminta pembebasan segera bagi Awaisu.
Awaisu yang kemudian dibebaskan mengatakan bahwa penangkapan itu diyakini sengaja dilakukan untuk mengintimidasi gerakan #ArewaMeToo. Namun, komitmen dari gerakan itu disebut olehnya tak akan pernah hilang.
Anggota Amnesty Internasional Nigeria, Isa Sanusi mengatakan #ArewaMeToo dan gerakan serupa tidak boleh dibungkam maupun dihukum atas pekerjaan penting yang dilakukan. Ia khawatir bahwa penangkapan Awaisu membuat korban kekerasan dan pelecehan seksual sulit mendapatkan keadilan.
Aljazirah pernah mencoba menghubungi pejabat di Kementerian Kehakiman dan Kementerian Wanita Nigeria, namun belum mendapat tanggapan. Selain itu, seorang pria yang dituding melakukan pelecehan seksual mengatakan ia terkejut atas tuduhan.
“Saya terkejut karena digambarkan sebagai pemerkosa berantai, yang mana tidak ada hal yang telah membuktikan tuduhan itu,” ujar pria tersebut.
Ia menekankan bahwa media sosial bukanlah cara untuk membuktikan bahwa seseorang bersalah atau tidak. Pria tersebut telah menolak untuk mengatakan apapun melalui dunia maya, seiring dengan fitnah yang terencana didapatkannya.
Sementara itu, para aktivis mengatakan ingin mengatasi penyebab pelecehan seksual yang terjadi dan mendorong adanya reformasi. Sejauh ini, mereka menggunakan momentum untuk membawa pesan ke sekolah, pasar, komunitas lokal, dan stasiun radio. Selain itu, dukungan para pemuka agama dan adat juga tengah diupayakan.
Direktur Pusat Kesehatan, Pendidikan, Orientasi dan Perlindungan Anak (CEE-HOPE), betty Abah meyakini media sosial adalah sebuah alat yang kuat dan efektif untuk mengatasi masalah kekerasan seksual. Ia percaya ini dapat membantu para korban untuk mendapatkan keadilan.
“Tidak ada yang meresahkan predator seksual selain korban yang berani berbicara secara blak-blakan,” ujar Abah.
Ke depan, para pegiat #ArewaMeToo mendorong majelis negara bagian di utara untuk mengadopsi Undang-Undang Hak Anak, yang disahkan oleh Parlemen Federal pada 2003. Undang-undang itu melarang hubungan seksual dengan siapa pun di bawah 18 tahun dan menetapkan hukuman penjara seumur hidup bagi para pelanggar.
"Dari pengalaman saya, hambatan terbesar keadilan di Nigeria adalah tekad petugas penegak hukum untuk membatalkan keadilan," kata Abah.
April 01, 2019 at 03:12PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2FPzUfj
via IFTTT
No comments:
Post a Comment